~

7 2 0
                                    

Tiga tahun mungkin berlalu begitu cepat bak ombak yang menerjang pesisir pantai. Tapi tidak bagi Evaletta Almasyra, menunggu kepastian lelaki yang kini berada tepat di hadapannya, terkadang membuat hari yang ia lalu terasa berat. Terhitung sudah lima kali Eva menguap, tubuhnya terasa pegal. Bagaimana tidak, hampir empat jam penuh mereka berdua bergulat dengan laptop. Tangan lincah keduanya berayun di atas pen tab meciptakan karya indah.

Eva termenung menatap Muhammad Nadhif Al Haitam, salah satu siswa populer di sekolah. Berdiri di depan menerima piala sebagai simbolis saat upacara adalah hal lumrah baginya. Kepopulerannya semakin meningkat disaat ia dirumorkan berpacaran dengan Eva, seorang Ketua Dewan Ambalan atau biasa disebut dengan Pradani di Kepramukaan. Eva masi setia menatap, ingatan akan saat pertama kali bertemu terlitas...

2 Oktober 2021

Kemarin malam hujan turun begitu deras, menyisakan kesejukan di esok harinya. Eva menoleh ke kanan, berharap bus yang ditunggu segera datang. Jika ini adalah hari libur, mungkin dia akan memilih untuk bersembunyi di dalam selimut dan berharap bermimpi indah. Hawa dingin seperti menusuk tubuh. Ini adalah hari pertamanya masuk sekolah setelah hampir tiga bulan belajar dari rumah karena Covid-19.

Sekali lagi ia menoleh ke kanan, bukannya bus yang ia dapati. Dia malah mendapati seorang anak laki - laki yang mungkin sepantaran dengannya jalan ke arah halte. Hingga pada saat lelaki itu duduk disebelah, Eva menyadari bahwa mereka satu sekolah. Mencuri pandang sesekali, melirik seorang yang kini fokus membaca buku. Entah perasaan apa yang muncul, Eva seperti tersihir dengan pesona yang dimiliki lelaki itu. Ingin rasanya menegur sapa, tapi tak sampai hati untuk berucap.

Lima menit berlalu bus yang ditunggu - tunggu akhirnya datang. Merekapun bergegas masuk. Suasana Bus terpantau ramai, dipenuhi dengan anak sekolah dan beberapa pekerja. Eva berdiri sejajar dengan lelaki itu menghadap pintu bus. Detak jantung terasa lebih cepat, Eva merasa ada yang tidak beres dengan diri nya hari ini. Tangannya memegang dahi, tapi suhu nya normal saja. Berusaha untuk menenangkan diri, ia mengelus serta menepuk - nepuk pelan dadanya. Perasaan bingung menyelimuti, apakah ini karena lelaki disebelahnya?

Belum selesai ia mengenang pertemuan pertama mereka, suara bass membuyarkan lamunannya.

"Va, Eva." Suara berat terdengar samar -samar. Dengan wajah linglung ia menoleh ke Nadhif yang kini berdiri dihadapanya dengan dua cup berisi matcha.

"Nii, buat kamu,"Nadhif menyodorkan cup itu dan diterima dengan wajah berbinar dari Eva. Dengan sigap langsung menenguk minuman favoritnya. "Cape? Mau pulang sekarang kah? Atau mau mampir ke pameran dulu? Kebetulan deket sini ada."

Mendengar itu, segera Eva meletakkan cup ke meja. Membereskan barang - barang lalu bergegas memasukkan ke dalam tote bag. Membenahi duduknya dan menoleh kearah Nadhif seraya berkata "Let's go" Nadhif menatap gemas, tawa ringan hadir dari keduanya.

Malam ini bulan tampak lebih bersinar bentuknya pun bulat sempurna. Kelap kelip bintang, pepohonan berayun - ayun terkena angin malam, penerangan tambahan dari lampu jalan, serta suasana jalanan kota yang tak terlalu ramai membuat malam terasa syahdu. Keduanya tengah melakukan perjalanan untuk ke tempat pameran yang dituju menggunakan vespa abu milik Nadhif.

Eva menatap takjub kearah langit. Melirik dari spion, Nadhif tersenyum tipis. Gadis yang kini tengah fokus menatap langit ini telah berhasil meluluhkan hati beku miliknya. Sejak pertemuan pertama mereka, sebenernya Nadhif sudah memiliki ketertarikan. Pertemanan keduanya dimulai saat Eva meminjam buku. Makin hari perasaan keduanya semakin dalam, ditambah mereka adalah teman sekelas.

Tiga tahun berlalu tapi belum juga keberanian itu muncul, rasa ragu, takut dan lain sebagainya membelengku pikiran serta hati Nadhif. Ingin sekali iya mengatakan sejujurnya, ia juga tau bahwa Eva menunggu kepastian darinya. Sebelumnya Nadhif belum pernah menyatakan rasa suka kepada perempuan, dulu dia pun tidak pernah menganggap serius hal itu. Makanya menjadi hal wajar ini terjadi. Nadhif bertekad untuk segera mengutarakan perasaannya sebelum hari kelulusan tiba.

MemoriesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang