Part I

12.5K 45 1
                                    

Mungkin satu-satunya momen Mama pernah tersenyum kepadaku, memelukku, adalah waktu aku wisuda TK. Cuma itu yang kuingat.  waktu setelahnya, yang kulihat hanya raut wajahnya yang minim ekspresi.

Aku tak mengeluh. Sebab, Mama memang pendiam. Aku juga pendiam. Sifat pendiam Mama hanya menurun padaku dan tidak menurun pada dua adikku.

Dua adikku seperti Bapak. Periang. Senang bercanda. Saking kontrasnya kepribadian kami bersaudara, kalau sedang kumpul keluarga besar, terasa seperti ada dua kubu. Aku dan Mama. Bapak dan kedua adikku. Kami seperti berasal dari dua rumah terpisah.

Bapak kerja sebagai mandor. Dia cukup disukai di tempat kerjanya sebab kerjanya bagus. Orangnya sangat telaten jika menyangkut pekerjaan. Mungkin jika menunggu beberapa tahun lagi Bapak sangat mungkin menjadi kepala proyek-ini menurut angan-angannya. Pada kenyataannya, hal itu tidak mungkin karena ijazah Bapak cuma STM. Mau sehebat apapun dia, sebagus apapun kerjanya, tidak akan pernah diangkat menjadi kepala proyek sebab dia bukan sarjana. Kenyataan pahit ini harus ditelan Bapak pelan-pelan di tahun-tahun paling lambat dalam hidupnya.

Sementara Mama seorang guru SMP. Sejak gadisnya dia sudah mengabdi pada pendidikan. Sebagai anak seorang guru, anak-anak Mama mendapat pengajaran yang sangat baik di masa kecil.

Ketika aku masuk usia SMP, aku tidak sekolah di tempat Mama mengajar. Sempat ada cekcok hebat antara Mama dan Bapak waktu itu. Karena aku anak laki, Bapak ingin memasukkanku ke pesantren. Dia sendiri orang yang cukup religius, tapi dari segi pengetahuan agama memang tidak seberapa. Dia berharap kelak aku bisa membimbing adik-adikku yang padahal pada saat itu belum pada lahir.

Mama, di sisi lain, ingin aku sekolah di jalur "biasa". SMP, SMA, lalu kuliah. Mama berpendapat aku tidak perlu belajar agama secara khusus di pesantren. Cukup di rumah saja. Atau di tempat mengaji di kampung. Menurutnya lebih baik aku menorehkan prestasiku di sekolah umum, supaya nanti mudah masuk kuliah.

Pada saat itu-baru lulus SD-aku belum memahami bahwa di situlah awal ketidakharmonisan kedua orang tuaku. Entah sejauh mana mereka berselisih. Yang jelas, Bapak menang, dan akhirnya aku masuk pesantren.

Tapi di penghujung masa SMP (MTs kalau di pesantren), terjadi sebuah kasus. Aku difitnah mengkorupsi uang kas pondok. Jumlahnya lumayan. Aku jelas tidak terima sebab tak ada bukti. Bahkan kenyataannya akulah yang selalu kehilangan uang. Aku tahu siapa orangnya tapi aku tidak enteng melapor kalau tidak ada bukti.

Pendek kata, kasus menjadi cukup besar, hingga dipanggil kedua orang tuaku. Setelah perselisihan dan perdebatan yang sangat alot, akhirnya terkuak bahwa justru si penuduh yang telah menggasak uang kas itu, sekaligus uang pribadiku. Tapi apa tindak lanjutnya? Dia hanya disuruh bersih-bersih area masjid selama satu minggu. Sebab dia ada saudara dengan pengurus pondok. Klise.

Kejadian itu menjadi argumen sangat kuat untuk Mama akhirnya bisa mengeluarkanku dari pesantren. Padahal tinggal tiga bulan lagi ujian kelulusan. Artinya, aku terancam tidak dapat ijazah.

Tapi Mama tak habis akal. Didaftarkannya aku di ujian paket B. Karena daftar tepat beberapa hari sebelum ditutup, ada biaya yang harus dikeluarkan. Di kemudian hari aku tahu Mama menjual salah satu perhiasannya demi melunasi uang pendaftaranku. Bapak tak mau keluar duit karena sebetulnya dalam hati dia masih berat aku meninggalkan pesantren.

Pulang ke rumah, aku banyak menghabiskan waktu mengasuh adikku yang berusia tiga tahun. Ketika aku SMA kelas tiga, lahir adikku yang kedua.

Di SMA aku belajar dengan giat. Selain sebagai rasa terima kasih kepada Mama karena telah bersikeras mengeluarkanku dari pesantren, aku juga ada hasrat ingin membuktikan sesuatu kepada Bapak. Entah apa itu. Pada saat itu aku sama sekali tidak mengerti. Ada perasaan tak jelas, seperti kabut tebal, menggumpal dalam dadaku.

Diam diam diamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang