Mama terengah-engah di atas tubuhku. Tubuhnya lemas seperti orang lepas kerja rodi. Kuperhatikan lekat pada wajahnya, matanya terpejam, apa yang tengah terjadi di baliknya… aku tak pasti.
Penisku, sedikit berkurang tegangnya, masih menancap di dalam vagina Mama. Aku tak tahu harus bagaimana. Bingung ini luar biasa. Jadi aku diam saja.
Tak lama, setelah napasnya sedikit tenang, Mama beranjak dari atasku. Penisku terlepas dari kemaluannya. Dia lalu tidur telungkup di sampingku. Masih terpejam matanya. Aku agak curiga Mama tak tahu bagaimana harus memandangku jika membuka mata.
Aku menatap langit-langit kamar. Apa yang barusan terjadi? Apa maksudnya semua ini? Apa artinya semua luapan emosi yang tiba-tiba tumpah ruah ini?
Aku ingin menangis. Ingin tertawa. Ingin bertanya. Tapi seakan mulutku tak ada pada tempatnya. Semua pergolakan hanya mampu tersangkut di pangkal tenggorokanku.
Aku bahkan tak tahu jam berapa sekarang.
Ketika aku hampir menyerah atas semuanya dan pasrah pada godaan rasa kantuk, jantungku kembali tersentak, saat kudapati penisku yang sudah kendur sedang diurut pelan. Aku refleks menoleh ke arah Mama, matanya masih terpejam.
“Keluarin di pantat Mama, Van.” Ucap Mama.
Kata-kata itu. Kata-kata pertama yang keluar sejak aku mendapati Mama menangis di dadaku.Aku bergeming. Seperti ada yang macet dalam otakku.
Mama terus mengurut penisku. Tak juga dia ereksi. Mungkin sebab masih konslet otakku.
Lalu dengan sigap Mama mencium bibirku. Kami bercipokan lagi. Otakku segera menyala lagi. Seperti mesin yang distarter. Seluruh tubuhku merespon lagi.
Kurang sepuluh detik penisku langsung mengacung.
Mama terus menciumiku, napasnya mulai sedikit naik lagi.
“Kalau udah mau, gesek-gesek di belahan pantat Mama.” Ucap Mama di sela-sela ciuman.
Aku mengangguk—di sela-sela ciuman.
Napasku mulai naik lagi. Mulai kurasakan semacam dorongan untuk menggesek-gesek alat kemaluanku.
Aku memberi isyarat, Mama melepas ciuman kami, lalu tidur telungkup. Aku bangkit, lalu bergulir ke kiri, posisiku kini bersimpuh dengan penis tegang tepat di atas belahan pantat Mama. Kuturunkan pinggulku, saat kulit kami saling bersentuhan di bawah sana, secara naluriah otot-otot pahaku segera membuat gerakan maju-mundur. Penisku pun bergesekan di atas belahan pantat Mama. Agak kesat, tapi aku tak terlalu ambil pusing.
Di atas meja belajar ada sebuah cermin. Dari situ bisa terlihat jelas sebagian hal yang tengah terjadi di atas ranjang. Gila. Betapa tidak senonohnya. Tampak selangkanganku beradu, bergesekan, menempel lekat di atas pantat Mama. Meski sesungguhnya tidak ada penetrasi, melihat dari cermin tampak seperti aku sedang benar menyenggamai ibuku sendiri.
Pemandangan itu meningkatkan rasa konakku. Lalu, aku baru menyadari betapa seksi leher Mama yang sebagian tertutupi rambutnya yang diikat sembarang. Tak tahan, aku pun menyosor leher itu dari belakang. Mama sedikit melenguh tapi tidak melarang. Mungkin hanya kaget.
Mama pasti merasakan genjotanku semakin cepat. Mama juga pasti mendengar suara eranganku.
Saat hampir puncak, kudekap Mama dengan melingkarkan lenganku di pundaknya. Mulutku meracau tak bisa kutahan.“Ma… Mama!! Mama!!! Aahhhhh!!! Ma… Mama!!”
Batang penisku semakin kuat menekan buah belahan pantat Mama.
Mama pasti tahu aku sudah di ujung tanduk, maka dia naikkan sedikit pantatnya untuk semakin dalam menerima hentakan pinggulku.
Aku masih belum mengerti yang sebenarnya terjadi, tapi pada momen itu satu hal yang kuyakini, bahwa tak ada hal lain yang lebih kuinginkan selain segera menumpahkan cairan pejuku di atas tubuh perempuan yang sedang kugenjot di bawahku ini.