07 (END)

29 4 37
                                    

  Aku menoleh pada Janu yang mengatakannya sembari memejamkan mata

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


  Aku menoleh pada Janu yang mengatakannya sembari memejamkan mata. Pemuda itu nampak begitu menikmati udara perbukitan yang justru membuatku merasa sesak kini. Mengingat hari-hari aku kehilangan dirinya, itu membuatku merasa udara disekitarku makin menipis. Aku menelan ludah.

"Janu, kalau gue bilang lo nggak boleh pergi. Lo bakal nurut nggak?"

Aku melihat Remaja itu mengambil posisi duduk. Dia mengernyit sembari menatapku, "kenapa emang?"

"Gue, cuma khawatir aja. Kalau ada apa-apa dijalan gimana?"

Janu tertawa renyah, "apa-apa gimana? Gue berangkat sama teman-teman. Kita bakal lewat jalan tol. Jalan tol, kan, halus. Nggak ada jurang atau apapun yang bisa membahayakan perjalanan. Santai aja, Yana. Lo belakangan ini kayaknya gampang khawatir banget."

Bagaimana aku tidak khawatir jika aku sudah pernah kehilangan dirimu sekali? Kamu mungkin tidak akan merasakannya. Tapi untuk diriku yang mengingat dengan jelas tanggal pemakaman dan betapa ramainya rumahmu hari itu, aku tidak tahan. Aku tidak mau menyaksikannya lagi.

"Tapi Janu, gue beneran. Sebaiknya lo nggak usah pergi."

"Gue nggak enak tau sama anak-anak, mereka semua bikin acara karena mau ngehibur gue. Apalagi Nakala. Dia yang bayarin semuanya, bahkan dia sampe mohon-mohon sama Ayahnya buat pinjemin dia mobil. Kalau gue nggak ikut, kan, jadi nggak enak."

Aku bergeming. Kehabisan kata-kata. Apa yang harus aku katakan untuk meyakinkan Janu agar dia tidak pergi?

"Janu. Gue mohon. Buat kali ini, buat kali ini aja. Jangan pergi, ya?"

"Iya, kenapa, Na? Kasih gue alasan yang jelas" aku tau Janu pasti menahan emosinya meskipun sudah diambang batas. Dia berusaha untuk tidak marah padaku meskipun dia mungkin geram. Tapi aku sendiri tidak punya alasan untuk melarang Janu. Aku-

-gue dari 2024, Janu."

Remaja itu mengernyit dan terkekeh.

"Lo kok bercanda, sih? Ini gue serius loh" aku melihat muka Janu yang sudah sangat masam karena menahan geram. Tapi Remaja itu tetap tertawa karena menganggap apa yang aku katakan adalah gurauan.

"Gue serius, Janu. Gue nggak bohong. Gue emang dateng dari 2024."

Janu diam. Dia mengurut pelipisnya, "Na, gue tau lo kesepian. Gue tau lo butuh gue sebagai temen yang bisa jadi tempat lo curhat, gue tau di masa-masa tes perkuliahan kayak gini, lo pasti butuh temen yang bisa ngedukung lo pas lagi down. Tapi ini cuma sehari, Na. Nggak lama, kok. Ya?"

Tapi kamu akan pergi selamanya dariku, Janu.

"Janu, gue nggak bohong kalau gue datang dari 2024. Gue tau semuanya. Gue ngelarang lo pergi karena gue tau, sepulang lo dari Puncak Bogor, lo bakal kecelakaan dan meninggal di jalan tol. Karena itu gue nggak mau lo pergi!"

"Udah, Yana!" Janu menghela pelan. Nadanya tadi sempat meninggi sebentar. Sebelum kemudian Remaja itu menghela panjang dan memegang kedua bahuku dengan lembut. Kedua matanya menatap lembut, tepat lurus pada kedua mataku.

PERIHAL KAMU DAN WAKTUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang