DUA PULUH SATU

526 74 9
                                    

Tiga hari setelah pertemuan pertamanya dengan Justin kecil, pagi ini Justin bersiap dengan setelan rapinya, kaos putih, celana panjang dan coat selututnya karena pagi ini cuaca Dortmund sangat dingin. Diusia nya yang kini mendekati dua puluh lima tahun, Justin terlihat semakin tampan dan dewasa, hanya saja untuk skill preman, lelaki itu masih belum bisa menahannya.

Keluar dari apartemen yang telah resmi dia sewa, lelaki itu berjalan menuju sekolah atau lebih cocoknya klub balita tempat Justin kecil bersekolah. Dia berniat menjemput anak lelaki kebanggannya itu untuk pergi menikmati waktu bersama.

Membolos? Tidak masalah bukan jika ayah yang membawanya?

--

"Saya memberikan jaminan paspor dan surat ijin tinggal saya jika anda tidak mempercayai saya." Ucap Justin pada wanita bername tag Claudia.

Miss Claudia menimbang lagi apakah dia mengijinkan Justin dibawa oleh lelaki asing yang baru mereka temui beberapa hari yang lalu. Masalahnya Mommy Justin tidak meninggalkan pesan apapun saat mengantar Justin pagi ini.

"Tidakkah anda melihat kemiripan diantara kami? Saya adalah orang tua Justin. Memang secara hukum Justin tidak memilkki ayah, tapi secara biologis saya adalah ayah Justin." Mencoba menerangkan dan membujuk Miss Claudia agar Justin diijinkan untuk pergi bersamanya.

"Saya berjanji sebelum Mommy Justin menjemputnya saya dan Justin sudah berada di sekolah lagi." Ucap lelaki itu.

Menyerah, Miss Claudia memanggil Justin kecil, dan memberi ijin keduanya untuk meninggalkan sekolah.

--

Mereka berdua duduk di ruang tengah apartemen Justin, menikmati tontonan kartun anak, segelas susu dan popcorn. Mata Justin tidak hentinya menatap putranya, sesekali mengusap airmata karena terharu bisa menemukan Justin kecil dalam hidupnya.

"Justin, apakah Ibumu pernah bercerita tentang papa?"

Menelan popcorn nya, "Ibu bilang aku tidak punya papa karena papa bekerja sangat jauh dan tidak bisa pulang. Kami tidak bisa bertemu papa lagi."

Mengangkat Justin kecil dan meletakkannya dipangkuan, "Kau senang jika Papa kembali?"

"Tentu saja, Eren dan Gio punya papa, mereka selalu bermain bola bersama." Jawabnya tanpa memutuskan pandangan dari film yang mereka tonton.

"Kau tau Justin, aku adalah papa mu."

"Mengapa bisa? Kan Ibu bilang papa tidak bisa pulang karena bekerja sangat jauh?"

Mengeratkan pelukannya, Justin menangis dalam diam, "Papa sudah punya tiket pesawat, sehingga papa bisa pulang dan menemuimu. Papa sangat merindukanmu sayang. Maafkan papa karena terlambat pulang untuk menemuimu." Terisak, lelaki itu memeluk Justin dalam tangisnya yang semakin tergugu.

"Maafkan papa."

Justin kecil menatap papanya, lalu mengusap air mata lelaki itu sambil terus menatapnya. "Ibu bilang, kita tidak perlu meminta maaf untuk kesalahan yang tidak kita perbuat."

Tersenyum, Justin berpikir bagaimana Laras membesarkan anak ini seorang diri tanpa dirinya. "Kau mau memanggilku papa?"

Mengangguk kecil. "Papa"

"Coba ulang sekali lagi."

"Papa Justin dan Justin." Ucap Justin kecil menujuk dirinya dan Justin bergantian.

Tertawa, buliran air mata kembali berjatuhan dari mata Justin. Dia seperti hidup dan dilahirkan kembali. Hatinya benar-benar lega. Ruang kosong dihatinya yang bertahun-tahun tidak pernah terjamah akhirnya hari ini berhasil dia penuhi dengan rasa cinta dan bahagianya.

"Papa menyayangimu Jusa."

"Siapa Jusa itu?"

Tertawa lagi, "Jusa adalah panggilan papa saat masih kecil. Karena nama kita sama, papa Justin dan Justin, supaya orang-orang tidak bingung, maka papa akan memanggilmu Jusa. Apakah boleh?"

Bersorak kecil Jusa bertepuk tangan, "Boleh papa Justin." Jawabnya kegirangan. Bocah kecil itu bergembira setelah meyakini bahwa hei papaku sudah kembali!

--

Laras memegang kepalanya yang berdenyut. Bagaimana bisa Miss Claudia menyerahkan anaknya begitu saja ke orang lain. Padahal jelas-jelas selama ini tidak ada orang dewasa lain yang menjadi wali Justin kecuali Laras sendiri.

"Tapi pria itu bilang dia adalah papa dari Justin Mom." Miss Claudia mencoba menerangkan keadaannya.

"Justin tidak punya Papa, Miss. Itu masalahnya. Bagaimana kalau pria itu menculik anak saya!" Bentak Laras marah.

Sebuah pelukan kecil memeluk kaki Laras, "Ibuuuu, ibu sudah menjemputku?"

Nafas Laras berhembus lega sekaligus marah dalam waktu bersamaan. Gadis itu menarik Justin dan memukul pantat Justin keras beberapa kali karena marah. "Ibu sudah bilang jangan sembarangan pergi dengan orang dewasa selain Ibu dan Miss Claudia!"

"Bagaimana kalau kau hilang karena orang jahat menculikmu Justin?" Ayunan tangan Laras sudah bersiap memukul pantat anaknya lagi untuk memberikan hukuman.

"Jangan pernah memukul anakku!"

Sebuah suara menghentikan gerakan Laras. Membuat Laras membeku. Suara itu terlalu Laras kenal dan rindukan. Membuatnya kembali merindukan semua hal yang sudah dikuburnya dalam-dalam.

Justin Hubner - The Girl at The BarWhere stories live. Discover now