9 ETERNITY • 37

116 51 2
                                    

Tangan putih pucat itu gemetaran, matanya tak berkedip, jantungnya terasa bergemuruh di dalam sana. Ia tak menyangka hidup yang ia jalankan begitu rumit rasanya. Cukup Hazel saja yang merasakan sakit, ia tak sanggup melihat mamanya, Helen, menangis. Saat ini, mereka terhalang oleh tembok yang hanya diberi sekat untuk berbicara, membuat perasaannya semakin tertekan.

Helen menangis di dalam sana, suara isak tangisnya membuat hati Hazel mencelos. Ia tidak mau melihat mamanya dalam keadaan seperti ini. Dengan penuh keteguhan, ia lalu menarik napas dalam-dalam, berusaha menenangkan dirinya sendiri. "Ma... Hazel nggak kenapa-napa kok," lirihnya, terus menatap wajah Helen yang tampak penuh kesedihan.

"Mama jangan khawatir ya. Hazel tahu mama nggak salah," tambahnya dengan suara bergetar, berusaha meyakinkan diri dan mamanya sekaligus. "Hazel bakal baik-baik aja. Mama harus kuat untuk Hazel." Mata gadis itu memerah, air mata menetes di pipinya, namun ia berusaha menahan tangisnya.

"Gimana, Nak? Kalau mama nggak ada di dekat kamu, siapa yang jagain kamu?" Helen bertanya sambil menangis. Air mata wanita itu tak berhenti mengalir sejak ia masuk sell gumuh ini. Ia sudah berjuang untuk bisa keluar, tapi lawannya adalah orang yang punya harta. Ia merasakan ketidakadilan di negeri ini.

Sepanjang hari, Helen hanya bisa menangis. Air matanya seakan sudah mengering, dan waktu jedanya untuk merasakan kesedihan hanya saat beribadah. Ia terus memikirkan Hazel yang ada di rumah sakit.

"Sakit ya, sayang? Kamu minum obat sama siapa? Siapa yang nemenin kamu malam hari?" tanya Helen lembut, menggenggam tangan anaknya erat-erat.

"Banyak yang sayang Hazel, Ma. Banyak yang ingetin Hazel buat minum obat. Mama tenang aja, ya? Hazel bakalan baik-baik aja," jawab Hazel meyakinkan sang mama, berusaha menunjukkan keteguhan meski dalam situasi sulit.

Helen merasa hatinya hancur, merasakan dirinya sebagai ibu yang paling gagal untuk anaknya. Ia tidak bisa menjaga dan merawat Hazel dengan baik. Bahkan di saat anaknya sangat membutuhkan kehadiran ibunya, Helen tidak ada di sampingnya.

"Kamu harus rajin makannya, ya. Kamu harus kuat, Mama ingin lihat Hazel sembuh," ucapnya dengan suara bergetar. Ia tak sanggup melihat tubuh Hazel yang semakin kurus. Wajah cantik itu terlihat semakin pucat. Dalam hati, Helen berdoa, "Tuhan, tolong berikan pertolongan untuk kami."

Mendengar kata-kata ibunya, Hazel menggeleng, air matanya semakin mengalir deras. "Nggak, Ma. Hazel susah buat sembuh, sakit semua," jawabnya sambil menunduk, suaranya penuh kesedihan.

"Dokter bilang, Hazel sudah masuk stadium 4. Maafin Hazel, Ma," lanjutnya dengan suara bergetar.

Helen terdiam beberapa saat, tak menyangka mendengar kalimat yang membuat hatinya terasa perih. Badannya membeku, dan ia tak mampu merespons ucapan Hazel tersebut. Jika ada cara untuk menukar posisi saat ini, Helen ingin sekali mengambil alih penyakit itu.

***

Dewa melajukan mobilnya dengan cepat. Dia melihat Hazel menjauh, langkahnya cepat. Saat mobil berhenti, dia langsung turun dan berlari mengejar Hazel yang sudah berada di ujung jalan.

"Hazel! Tunggu!" teriak Dewa, suaranya penuh dengan kepanikan. Dia berusaha mengejar langkah gadis itu, napasnya mulai tersengal-sengal. Dia tidak ingin kehilangan orang yang ia sayangi.

Akhirnya, Dewa berhasil mendekati Hazel dan meraih lengannya dengan lembut. "Hazel, please, dengerin gue!" Dia menatap dalam-dalam ke mata Hazel, menampilkan ketulusan.

"Gue minta maaf. Gue tahu gue salah."

"L-Lo penting banget buat gue."

Hazel berhenti dan menatap Dewa dengan tatapan yang tidak bisa ia artikan. "makasih udah bilang gitu. Kamu juga orang yang aku sayang kak," jawabnya, suaranya bergetar.

9 Eternity || ENDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang