soetta

131 15 3
                                    

Seolah perjalanan 3 jam tidak merontokkan energi Janis, turbulensi sebelumnya tidak berarti apa-apa bagi gadis berambut sepinggang itu. Melangkah ringan sambil menarik koper berukuran sedang dan sebuah ransel kecil yang nemplok di punggungnya.

Janis berjalan sendirian di tengah-tengah keramaian bandara Soekarno-Hatta Jakarta setelah bertolak dari Surakarta. Meskipun langit sudah gelap keramaian masih tercipta di bandara. Otaknya sudah menyusun strategi perawatan apa saja yang harus dilakukan sebelum jatah liburnya habis. Pekerjaannya selalu berhadapan dengan lensa kamera, mukanya tak jarang wara-wiri di televisi entah saat melaporkan tragedi atau menjadi objek utama dalam sebuah berita seperti tajuk “Sosok Janisha Admoejo, Seorang Jurnalis yang Memiliki Darah Bangsawan.” Sangat mengerikan jika harus menampakkan wajah kusam seperti ini di layar televisi.

Setelah bulan kemarin berlibur di Nusa Tenggara Barat, kini Janis baru menyelesaikan liburannya di Karimun Jawa dan menyempatkan diri pulang ke keraton untuk menemui ibu. Meskipun harus merelakan saldo rekening berkurang tapi Janis merasa harus melakukannya daripada berakhir stress, dia bukan tipe orang yang melakukan sesuatu tanpa alasan, jika hanya untuk kesenangan semata, menjadi tour guide di keraton juga sudah cukup, bertemu orang baru dan melihat kegigihan orang yang sedang mencari ilmu sangatlah menyenangkan. Tapi yang satu ini berbeda, kesedihan yang besar harus dicecar oleh kebahagiaan yang besar juga walaupun tidak terlalu berefek.

Sebelum benar-benar keluar dari bandara, Janis menyempatkan berbelok ke salah satu outlet yang menjual makanan, dia akan membawanya untuk menemani perjalanan menuju apartemen. Janis menyadari beberapa pasang mata tertuju padanya, tapi dia tidak terusik, tetap berjalan ke arah konter pemesanan.

“Kak, saya pesan cappuccino pie cream puff satu sama kaze-kaze yang vanilla,” ucap Janis, matanya berkeliaran melihat-lihat menu yang terpampang di sebelahnya sambil menunggu pesanannya selesai.

“Mbak Janis!” Suara cempreng perempuan tiba-tiba menyerukan nama Janis.

“Hai!” Janis tersenyum ramah setelah melihat 3 orang remaja melambaikan tangannya beberapa meter di depan.

Anak remaja itu kegirangan dan sedikit berlari menghampiri Janis.

“Mbak Janis, aku dari tadi mau manggil tapi masih ragu-ragu takut bukan Mbak.” Orang yang sama dengan memanggil Janis tadi bercerita.

Tanpa ditebak juga pastinya mereka salah satu penggemar Janis.

“Malahan kita satu pesawat lho Mbak,” tambah temannya.

“Loh iya tah? Aku nggak tau maaf ya.” Janis memasang raut bersalah.

“Ya iyalah Mbak Janis pasti nggak tau, emang kita ini siapa?” sahut remaja berambut pendek sambil terkekeh.

Janis meresponnya dengan tawa kecil. “Eh kalian mau apa? Ayo pilih aku beliin,” tawar Janis.

“Nggak usah Mbak, kami udah jajan banyak di Solo.” Mereka menggoyangkan tangannya secara kompak.

“Tambah aja biar jajanannya makin banyak,” Janis masih berusaha menawarkan. Mendadak mereka mengadakan fan meeting.

“Beneran nggak usah Mbak, kami cuma mau foto aja.”

“Yahhh, padahal ini enak lho.” Janis cemberut sambil mengangkat pesanannya yang sudah selesai. Para remaja itu mesem-mesem salah tingkah.

“Sebelumnya makasih banyak Mbak udah nawarin, tapi kita cuma mau foto-foto aja kok.”

“Oke deh, ayo kita foto biar kalian bisa pulang terus istirahat.” Janis memposisikan dirinya di tengah sambil merangkul pinggang remaja itu, meletakan dulu pesanannya di atas koper.

Simbiosis Mutual-Ex Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang