70 - Cemburu

291 51 10
                                    

.

.

Aura kecemburuan wanita, bisa menembus tabir apapun saking tajamnya.

.

.

***

Suasana kantin siang itu ramai dipenuhi para siswa dan siswi madrasah. Elaine sedang duduk bersama dua orang teman sekelasnya, saat Haya datang menghampirinya tergopoh-gopoh. Ada apa kiranya? batin Elaine. Melihat tampang panik Haya, sepertinya baru saja terjadi sesuatu yang gawat.

"Afwan ganggu kalian! Aku mau culik Elaine sebentaaar aja. Boleh ya? Ya??" tanya Haya, terdengar separuh memaksa.

Tentu saja kedua teman Elaine mengiyakan. Keduanya hanya terkikik saat melihat Elaine seperti diboyong paksa oleh Haya.

"Ada apa, Tante?" tanya Elaine saat mereka hanya berdua saja di bawah pohon yang posisinya berada di luar kantin.

"Ya Allah, Elaine! Kamu sudah lihat berita di internet??" Haya malah bertanya balik.

Elaine menggeleng perlahan. "Belum. Ada apa? A-Apa ini ada hubungannya dengan sidang?" tebak Elaine langsung, karena hari ini adalah jadwal persidangan membahas kasus penyusupan terdakwa ke rumah Tante Raesha. Apa sesuatu yang buruk terjadi? Apa yang berbeda dengan sidang kali ini? Oh ya! Om Adli hadir di sidang, bersama Ismail dan Ishaq juga. Apa sesuatu menimpa mereka?? Perut Elaine mendadak mulas membayangkan skenario-skenario yang mungkin terjadi.

"Kakak -- eh -- Om Adlimu ngamuk di sidang!" seru Haya.

"Ngamuk?? Eh -- Om Adli ... ku?" muka Elaine berubah merah. Ini bukan saatnya. Om Adli mengamuk di sidang, itu adalah urusan serius. Tante Haya sih, pakai bilang 'Om Adlimu' segala.

Haya geleng-geleng kepala, sebelum mengeluarkan ponselnya dari kantung rok, dan memperlihatkan layar ponsel pada Elaine.

"Nih! Lihat!" kata Haya lantang.

Elaine menerima ponsel milik Haya dan menonton siaran rekaman sidang yang belum lama berakhir.

"Nonton semuanya?" tanya Elaine ragu. Sebab tertulis angka durasi video yang mencapai sejam lebih, nyaris dua jam. Tentunya jika ditonton seluruhnya, Elaine akan ketinggalan pelajaran setelah jam istirahat berakhir.

"Enggak, lah. Sini," sahut Haya dengan isyarat tangan meminta ponselnya kembali. Ia menggeser video ke pertengahan durasi sidang, seolah hapal di mana momen-momen kritis saat sidang tadi.

Alis Elaine berkerut saat melihat Adli mengamuk karena amarah. Memang agaknya pengacara tersangka yang bernama Theo Hayden itu, sangat lihai memancing emosi.

"Ya Allah," gumam Elaine seraya menutup bibir. Baru kali ini dia melihat Adli kehilangan kendali atas dirinya sendiri.

"Untung Kakak gak sampai mukul orang itu. Coba kalau sampai adu fisik. Waduh ... bisa repot," komentar Haya sambil mengibas-ngibas jemarinya.

"Memangnya ... kenapa, Tante? Maksudku, kalau sampai adu fisik -- eh -- na'udzubillahi min dzalik -- bukannya aku berharap begitu, tapi --," Elaine berkata gugup. Adakah efek selain menimbulkan kegegeran, jika Om Adli sampai menghajar pengacara bernama Theo itu?

"Kamu gak tahu sih! Dulu sebelum kamu tinggal di rumah kami, Kak Adli mah paraah! Tukang berkelahi! Pentolan geng sekolah, mulai dari SD sampai SMA! Malahan, kata Ibu, dari sejak pre school, Kak Adli tukang bikin masalah di sekolah!!" jelas Haya dengan mimik wajah meringis.

Elaine tersenyum kaku. Gak apa-apa kah ini? Tante Haya fix sedang ghibahin kakaknya sendiri.

"O-Oh gitu?" tanya Elaine, meski sudah pernah mendengar selentingan tentang kenakalan Adli waktu kecil, tapi dia tidak pernah tahu senakal apa.

ANXI EXTENDED 2Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang