Chenle menang

284 39 4
                                    

Happy reading
*

*

*

"Cis buat kemenangan kita!" Seruan bersahut-sahutan terdengar dari sebuah cafe. Di salah satu sudut ruangannya, beberapa orang remaja yang masih memakai jersey basket terlihat sedang mengadakan sebuah pesta kecil-kecilan.

Di antara perkumpulan itu ada seorang remaja yang terlihat paling mencolok. Dengan kulit putih dan surai merahnya, remaja dengan jersey bertuliskan Chenle itu nampak menarik perhatian pengunjung yang lain. Terkadang ada satu dua orang yang mendekat untuk sekedar menyapa atau meminta tanda tangan.

Hal itu bukanlah sesuatu yang mengejutkan lagi bagi Chenle dan teman-temannya. Remaja itu memang selalu bisa menarik semua perhatian agar tertuju padanya. Bukan hanya di lapangan, di kehidupan sehari-hari pun banyak orang yang akan mengenalnya. Prestasi yang selalu bisa dapatkan baik dalam bidang akademik maupun olahraga, telah membuat namanya semakin tinggi.

"Akhirnya, latihan kita selama ini bisa terbayar lunas dan pastinya sesuai harapan," ujar Chenle setelah menghabiskan segelas smoothies.

"Iya. Semuanya berkat arahan ketua juga. Pokoknya strategi ketua selalu best, deh," puji salah satu anggota sambil menunjukkan kedua jempolnya.

Chenle berdehem dengan kepala mengangguk. Ia menatap satu persatu anggota timnya dengan perasaan bangga dan puas.

"Ini juga berkat kerja sama kalian. Gue seneng kalian bisa praktekin strategi itu dengan baik. Sebagai apresiasi, malam ini datang ke rumah gue. Kita pesta lagi di sana," ujar Chenle yang berhasil membuat teman-teman satu timnya tersenyum lebar.

"Makasih ketua!" ucap para anggota bersamaan.

Chenle mengangguk kemudian pamit pulang lebih dulu. Dengan kacamata hitam yang menutupi kedua matanya, Chenle berjalan keluar dari cafe. Ia menghampiri sebuah mobil sport berwarna biru yang terparkir di depan cafe. Chenle segera masuk ke dalam mobilnya kemudian melaju meninggalkan tempat itu.

Butuh beberapa saat untuk Chenle sampai ke rumahnya. Setelah memarkirkan mobilnya di garasi, remaja itu melangkah memasuki rumah dengan sebelah tangan yang memegang piala kemenangan.

"Aku pulang," ucap Chenle saat membuka pintu depan.

Ia terdiam sejenak di ambang pintu dengan tatapan yang menyorot kosong ke arah ruang tamu yang sepi. Tidak, bukan hanya ruang tamu. Namun setiap sisi dari rumah berlantai dua itu. Hanya ada dingin dan sunyi yang menyapa setiap dirinya pulang.

"Ayah, bunda, kakak, Jisung, aku menang lagi. Kalian nggak mau ngasih aku pelukan selamat kah? Aku terlalu nakal, ya, sampai kalian pergi tanpa aku?" Chenle tersenyum miris. Kedua matanya yang tertutup, sedikit demi sedikit mulai mengeluarkan bulir beningnya.

Chenle melepas kacamata, kemudian mengusap air matanya perlahan. Senyum kembali terkembang, dengan sebuah kesedihan dan kerinduan yang tersirat di baliknya.

"Kalian yang tenang di sana, ya. Aku baik, kok. Nanti malam aku sama temen-temen mau pesta kecil-kecilan. Jadi, sekarang aku mau masak dulu," gumam Chenle, masih mempertahankan senyumnya meskipun air mata telah kembali mengalir.

❄️❄️❄️❄️

Malam yang Chenle tunggu pun tiba. Setelah menyiapkan berbagai makanan untuk teman-temannya, Chenle segera membersihkan diri. Ia berendam cukup lama, menikmati hangatnya air yang perlahan mulai mendingin.

Ketika jam menunjukkan pukul 8 malam, teman-teman Chenle mulai datang mengisi keheningan rumahnya. Bukan hanya anggota tim, beberapa orang teman dekat Chenle pun turut hadir.

"Hebatnya adek Abang ini. Abang bangga, deh sama kamu," puji Mark, pria yang sudah Chenle anggap seperti kakak sendiri.

"Makasih, Bang. Aku juga nggak akan bisa sampai sejauh ini tanpa kalian," ucap Chenle sambil menatap tiga orang di depannya. "Bang Mark, Bang Jaemin, Bang Jeno. Makasih selalu ada buat aku."

Ketiga orang itu tersenyum tipis kemudian merangkul Chenle bersamaan. Di saat bersama merekalah, Chenle bisa menjadi dirinya sendiri. Dia hanya remaja yang rapuh dan kesepian. Kepergian keluarganya dua tahun lalu telah menjadikan Chenle pribadi yang berbeda. Namun ia akan kembali menjadi dirinya di saat bersama mereka, ketiga sahabat kakaknya.

"Udah, jangan nangis lagi. Hari ini Chenle juga ulang tahun 'kan? Abang bawain makanan kesukaan Chenle, loh," hibur Jaemin sambil mengusap air mata Chenle.

"Yuk, kita turun. Yang lain pasti udah nunggu di bawah," ajak Jeno sambil merangkul pundak Chenle.

Keempat orang itu segera turun, menemui teman-teman Chenle yang sudah datang. Acara makan-makan itu pun dimulai. Chenle sepertinya sedikit melupakan kesedihannya saat ucapan selamat tak henti dia dapatkan.

Di tengah keseruan itu, Chenle menatap potret keluarganya yang terpajang di ruang tamu.

"Ayah, bunda, Kak Renjun, Chenle nambah umur lagi. Jisung, selamat ulang tahun untuk kita."

❄️❄️❄️❄️

Setelah acara selesai, kini Chenle tengah berbaring dengan ketiga sahabat kakaknya yang menemani. Menikmati usapan lembut di kepalanya, Chenle menatap satu persatu ketiga orang yang telah menemaninya selama dua tahun terakhir.

"Makasih, ya, Bang. Udah selalu ada buat aku. Maaf kalau aku punya salah sama kalian. Kalian pasti sebel kalo aku lagi bandel. Bang Mark pasti sering kesel kalo aku nggak nurut." Chenle terus berceloteh sambil memainkan jarinya.

"Ngomong apa, sih? Kan Abang udah sering bilang. Mau Chenle nakal, nyebelin, usil, apapun itu. Kamu tetap adik kami tersayang. Jangan pernah minta maaf kalo kamu nggak salah. Kami justru senang kalau kamu bisa bangkit." Mark ikut mengusap kedua mata Chenle yang kembali basah.

"Hehe, aku seneng banget hari ini. Pokoknya aku pengen ketemu Jisung nanti. Aku pengen ngerayain ulang tahun kami, meskipun cuma dalam mimpi," gumam Chenle yang masih bisa didengar oleh ketiga orang lainnya.

"Chenle selalu boleh ketemu Jisung, Kak Renjun, atau ayah bunda, tapi kamu harus ingat untuk kembali, ya. Jangan pergi sebelum waktunya. Karena ada kami yang selalu menunggu kamu untuk kembali," bisik Jeno.

Ia menatap Chenle dengan tatapan yang sukar untuk dijelaskan. Entahlah, hatinya tiba-tiba saja tak nyaman ketika mendengar Chenle berkata ingin bertemu kembarannya. Bukan sekali dua kali Chenle berkata seperti itu. Karena setiap ia akan terlelap, ucapan itulah yang selalu menjadi pengiring tidurnya.

Mark dan Jaemin pun sepertinya juga merasakan hal yang sama. Keduanya bahkan tak mengalihkan pandangan dari dada Chenle yang bergerak naik turun. Remaja itu telah menyelam ke alam mimpinya dengan sebuah senyum tipis yang terukir.

Mark, Jaemin, dan Jeno saling pandang dengan tatapan rumit. Dalam hati mereka tengah menggumamkan harapan yang sama.

Semoga firasat mereka salah dan Chenle bisa kembali ke permukaan kesadarannya. Mereka memang ingin Chenle bahagia, tapi bukan berarti mereka mau Chenle menyelami mimpinya terlalu dalam hingga ia lupa untuk kembali.

Namun, sepertinya kali Chenle yang menang. Tepat pukul 1 malam, tangisan dari ketiga orang itu pecah begitu mendapati kulit sang adik yang mendingin, sedingin suasana dini hari itu. Adik mereka yang rapuh, telah benar-benar tenggelam ke dasar mimpinya.

❄️❄️❄️❄️

"Uwaaahhhh!! Capa tu? Lambutnya kok putih kaya akek-akek?!"



Hei! Book baru gaes!
Book ini baru akan lanjut setelah JeJu ending. Aku up sekarang bagian awalnya biar besok nggak selingkuh lagi

Jangan lupa vote dan komennya kalau kalian menyukai part ini

See u 👋

Little Snow Prince Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang