Ruang itu sunyi, hanya terdengar suara napas yang tertahan di antara dua sosok yang saling berhadapan. Cahaya lilin yang berpendar lembut di sudut ruangan tidak cukup untuk mengusir kegelapan yang menyelimuti hati Eleonora saat ini.
Tiba-tiba, sebuah cengkeraman kuat mencengkram lengannya, membuatnya terlonjak kaget. Jemari Alaric melingkar erat di kulitnya, dingin dan penuh tekanan. Tatapan pria itu berubah tajam, menusuknya dengan kecurigaan yang pekat.
Alaric mendekatkan wajahnya ke Eleonora dan berbisik dengan suara dingin, "Aku mendengar kabar bahwa kau sering bertukar surat dengan seorang penjaga secara diam-diam."
"Apa yang kau bicarakan, Alaric?" suaranya terdengar bergetar.
"Jangan berpura-pura tidak tahu. Siapa penjaga itu? Apa yang kau bicarakan dengan dia?"
"Aku... aku hanya merasa kesepian. Aku tidak pernah mencoba mengkhianatimu."
Alaric menatapnya dengan intensitas yang membuat Eleonora merasa seolah-olah dirinya telanjang di hadapannya. "Kau pikir aku bodoh, Eleonora? Aku mempercayaimu, dan ini yang kau lakukan?"
"Aku tidak pernah bermaksud menyakitimu, Alaric. Aku hanya butuh seseorang untuk bicara."
"Jika kau ingin berbincang, kau bisa datang padaku. Kenapa harus dengan penjaga rendahan itu?"
"Wilian bukan penjaga rendahan! Dia hanya mencoba membantuku merasa sedikit lebih bebas di sini."
Alaric merasakan gelombang cemburu yang tajam menusuk hatinya ketika mendengar Eleonora menyebut nama Wilian dan membelanya. Tatapannya semakin tajam dan penuh amarah.
"Kau berani membelanya di depanku?"
Sebelum Eleonora sempat menjawab, Alaric mengangkat tubuhnya dengan mudah. Dengan satu gerakan cepat, tubuh mungilnya terhempas di kasur dengan kekuatan yang membuatnya terengah-engah. Matanya yang besar dan penuh ketakutan memandang Alaric, mencoba memahami apa yang sedang terjadi.
"Apa yang kau lakukan?" serunya dengan suara serak.
"Aku tidak akan membiarkan orang lain memiliki pengaruh lebih besar dariku di hatimu. Kau milikku, Eleonora. Hanya milikku."
Alaric mendekat ke arah Eleonora, tubuhnya yang besar dan kuat mengurung Eleonora di bawahnya. Eleonora merasa terperangkap, tidak bisa bergerak, tidak bisa melarikan diri. Alaric mengusap pipinya dengan lembut, tetapi sentuhan itu membuat Eleonora semakin gelisah. Ia mengalihkan pandangannya, matanya mencari jalan keluar, tetapi tidak ada. Rasanya ia ingin kabur, tetapi ketakutan membelenggu dirinya.
"Alaric, jangan membuatku takut," bisiknya dengan suara gemetar, berharap suaranya tidak terdengar terlalu lemah.
Alaric menatap Eleonora dengan intensitas yang membuat jantungnya berdebar kencang. "Aku hanya ingin memastikan kau benar-benar milikku," katanya dengan suara rendah namun tegas.
Alaric mendekatkan wajahnya, sehingga jarak di antara mereka hanya beberapa inci.
"Tatap aku, Eleonora."
Dengan enggan, Eleonora menatap mata Alaric. Ada sesuatu dalam tatapannya yang membuatnya merasa terikat, tidak bisa berpaling.
"Kau tidak perlu takut padaku," ujar Alaric.
Alaric mendekatkan wajahnya lebih dekat, desahan napasnya menghangatkan pipi Eleonora. "Aku harus menghukummu," ucapnya lalu tangannya mulai meraih kancing bajunya sendiri.
Mata Eleonora membesar, rasa takut menyelimuti hatinya.
"Jangan, Alaric. Sungguh, aku memohon," Eleonora berkata dengan suara serak, hampir berbisik. "Kita tidak boleh melakukan ini."

KAMU SEDANG MEMBACA
Love letter Eleonora || Tamat
FantasyEleonora Octavia, gadis cantik jelita dengan hati suci, tak pernah menyangka hidupnya akan terjerat dalam pusaran cinta terlarang. Kehidupannya yang sederhana dan damai seketika sirna saat ia diculik para prajurit istana dan dipaksa menjadi selir sa...