Lena sebenarnya suka olahraga, hanya saja dia tidak suka jadwal olahraganya dilakukan siang hari. Tetapi ia tidak boleh banyak komplain, masuk di sekolah ini saja Lena harus bersyukur, mengingat betapa terlambatnya dia mendaftarkan diri ke SMA. Berkat Omnya, Ayah Satria, dirinya bisa duduk di bangku SMA ini.
Setelah pelajaran olahraga selesai, setiap murid memiliki kesadaran bahwa harus berganti seragam untuk mata pelajaran selanjutnya. Pernah sekali kelas mereka dimarahi oleh Pak Anang, guru matematika wajib yang kebetulan melewati kelas bahasanya, alasannya simpel karena bau apek panas matahari ditubuh mereka. Tetapi yang membuat Lena geram adalah, bisa saja kan memberi tahunya secara baik-baik, tapi Pak Anang ini malah marah-marah lalu membuat drama tidak akan mau mengajar kelas mereka, padahal waktu itu bukan mata pelajaran yang dipegang oleh Pak Anang setelah pelajaran olahraga di kelasnya.
Drama Pak Anang itu terjadi saat mereka masih kelas sepuluh, banyak yang lupa mungkin atas kejadian ini, tetapi tidak untuk Lena yang saat itu duduk di meja depan. Saat kelas sebelas ini, mata pelajaran setelah olahraga di kelas Lena adalah matematika peminatan. Berbeda dengan Pak Anang, guru matematika peminatan mereka ini sangat baik, suaranya sangat halus, Pak Ali namanya.
Tidak mengulangi kegiatan ganti baju seperti tadi pagi, yang di mana Lena harus menunggu tuan putri Friska. Kali ini Lena bergegas untuk beeganti, ingin mengantarkan permen untuk Satria.
"Fris, gue duluan ya!" Seru Lena sambil menepuk pundak Friska. Tanpa menunggu jawaban Friska, Lena langsung lari, meninggalkan Friska dan teman-temannya yang sedang bergosip.
Setelah mengambil bajunya di kelas, Lena berlari lagi dengan tidak memperhatikan sekelilingnya, alhasil saat Lena berlari di lorong Ia menabrak seseorang. Keduanya terjatuh, baju osis Lena berantakan di lantai, dan pemuda itu juga gelagapan mencari sesuatu.
"Aduuuuh! Gimana sih kamu, kalau jalan hati-hati dong!" Lena mengira itu bukan salahnya, meskipun ia berlari kencang, tetapi ia berlari di jalur kiri, maksudnya ia tidak belak belok saat berlari. Pemuda di depannya lah yang salah ambil jalur, malah mengambil jalan milik Lena. Lagi pula, jarang sekali orang lewat di lorong kelasnya ini. Karena kelasnya adalah kelas bahasa, satu-satunya di SMA ini. Bukan karena eksklusif, tetapi seperti kelas buangan. Jadi ditempatkan di tempatkan jauh dari pandangan orang-orang.
Lena segera mengambil seragam osisnya yang jatuh tersebar dan mengusap debu-debu yang tidak terlihat. Saat mengambil sabuknya, Lena menemukan sebuah tongkat panjang. Lena berpikir beberapa detik, sebelum melihat pemuda yang tadi menabraknya, ingat, pemuda itu yang menabrak Lena.
Betapa terkejutnya Lena saat melihat pemuda itu. Pemuda itu memang membuka matanya, tetapi tidak melihat Lena yang ada di depannya. Tangan pemuda itu terus menerus mencari benda yang saat ini di pegang oleh Lena. Kepanikan terlihat jelas dari raut wajah pemuda itu. Lena tersenyum, terlintas dipikirannya untuk menyembunyikan tongkat itu. Tetapi Lena tepis kuat-kuat keinginan itu, ia ingat tujuannya untuk ganti baju dan memberikan Satria permen, itu yang penting untuk Lena sekarang.
"Kamu cari ini?" Lena segera meraih tangan pemuda itu dan memberikan tongkat itu ke genggamannya. Lena menahan tangan pemuda itu dan menariknya lebih dekat dengan Lena, ia ingin membaca name tag pemuda tersebut. Kevin Jaya Mukti, sumpah aneh sekali namanya, seperti nama tempat usaha.
Setelah mendapatkan kembali tongkat penunjuk jalannya, Kevin yang terkejut karena tiba-tiba ditarik oleh seseorang hanya bisa diam, kaku. Untuk mengucapkan terima kasih saja Kevin lupa bagaimana caranya.
"Besok kita ketemu lagi Vin!" Lena langsung melepaskan tangan Kevin, tersenyum dan lari ke kamar mandi, meninggalkan Kevin yang masih membatu.
Lena selesai ganti tetapi ia buru-buru keluar karena pintu kamar mandinya di gedor temannya, iya mereka memang suka becanda seperti itu, padahal kamar mandi lain saat Lena keluar kosong.
"Lama amat Bu Ketua Geng buat ganti baju, ngapain aja dari tadi?" tanya Kunti, teman sekelasnya yang menyeramkan, sebenarnya nama aslinya bukanlah Kunti, melainkan Muti, tetapi ia karena sering tertawa sendiri saat pelajaran, jadi teman-teman lainnya setuju membuat nama baru untuknya yaitu Kunti.
Lena yang baru keluar langsung disambut dengan pertanyaan tersbeut dengan posisi teman perempuan sekelasnya berjajar rapi, seperti menyambut Bu Ketua Geng. Lena menghirup udara panjang, siap-siap untuk beradu akting dengan mereka.
"Gitu kamu ngomong sama saya?! Anum! Cepet bawa masuk si anak gak tahu diri ini ke kamar mandi! Kasih tahu cara yang bener buat ngomong sama saya!"
Anum, yang namanya dipanggil, segera mematuhi perannya, berpura-pura membawa masuk Kunti secara paksa dengan cara mendorong-dorong kecil Kunti. Tetapi Kunti tertawa tiba-tiba, diikuti matanya yang seperti terlihat putihnya saja. Mendengar Kunti yang tertawa seperti itu, teman-teman lainnya jadi agak ragu, ini Kunti sedang acting kan?
"Awas! Jangan ganggu cucu saya!!" Kunti bernicara dengan suara serak.
Sontak, semua anak perempuan yang di sana lari, tetapi sambil berteriak dan tertawa melupakan peran mereka, tidak peduli itu Kunti atau Muti yang jelas adrenalin yang mereka rasakan membuat mereka ingin tertawa terpingkal-pingkal. Friska bahkan sampai menangis melihat Kunti yang tertawa, ia bingung dengan situasi itu.
Melihat Friska yang menangis, Kunti yang sedang melakukan improvisasi kesurupan segera menghentikan aksinya. Dan segera membujuk Friska agar berhenti menangis.
"Friss, gue kan cuman acting Fris! Acting."
Bujukan Kunti tidak ada gunanya, bukan berhenti malah Friska semakin menangis. Teman-teman lainnya tertawa melihat kekonyolan teman sekelas mereka. Lena juga tertawa sangat kencang melihat ini, entah sejak kapan ia tidak tertawa sekeras itu semenjak kehilangan Ayah dan Ibunya. Tetapi kini, ia bisa merasakan lagi hangat keluarga bersama dengan teman-temannya, tentu saja ini tidak lepas dari campur kekuarga aslinya, maksudnya adalah Om Tirto dan Satria, bagaimanpun mereka adalah harta terakhir yang Lena punya.
Tidak ada guru yang melewati lingkungan sekitar kelas bahasa yang bisa dikatakan terisolasi. Jadi, mereka bisa tertawa sekencang-kencangnya yang mereka mau. Tidak ada yang akan menegur mereka.
Tetapi kali ini entah siapa yang membawa sial, Pak Ali, guru matematika peminatan mereka berkata dengan tegas sembari berjalan mendekati sekumpulan anak ayam, "Ada apa ini?". Friska yang kaget dengan kehadiran tiba-tiba Pak Ali dari belakangnya, segera menghentikan tangisannya dan mengusap sisa air mata di pipinya.
Semua orang yang di sana tidak kalah terkejutnya dengan Friska, malah-malah lebih terkejut lagi, mereka takut Pak Ali menyangka aneh-aneh tindakan mereka. Pak Ali yang datang menatap Friska yang menangis, ia meminta jawaban dengan mencari wajah Lena.
Lena yang panik dipandangi oleh Pak Ali, segera menjelaskan, "Tidak ada apa-apa Pak. Tidak ada." sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. Friska yang melihat kemampuan buruk sahabatnya untuk menjelaskan situasi segera menambahi penjelasan Lena.
"Eh Pak Ali, mau masuk kelas ya Pak?"
Friska berbasa-basi terlebih dahulu, kemudian menjelaskan bahwa mereka sedang bermain drama. Pak Ali yang menangkap bahwa masalah ini adalah karena acting kesurupan Kunti, mencari di mana Kunti, tetapi tidak ketemu. Seperti tahu apa yang dicari Pak Ali, Lena langsung menunjuk kamar mandi.
"Kunti, eh maksud saya Muti, iya Muti, dia ada di kamar mandi Pak."
----
Phewphew!Udah ketebak nih alurnya?
XY
KAMU SEDANG MEMBACA
LENA
ChickLitLena pernah ditanya oleh Ibunya, ingin jadi apa kelak ia nanti. Dengan pasti, Lena yang saat itu duduk di bangku kelas 6, yang mengira bahwa dunia ini milik orang tuanya, yang tidak mengerti betapa luas dan kerasnya sebuah kehidupan, menjawab dengan...