Chapter 3 - Penyesalan

9 3 0
                                    

Chapter 3 — Penyesalan

"Beberapa hari terakhir di wilayah selatan, ikan-ikan mati dalam jumlah yang besar mengapung diatas air, sehingga para nelayan tidak bisa mencari ikan untuk sementara ini."

"Gunung Puncak di timur mengalami longsor untuk pertama kalinya, kejadian ini mengakibatkan banyaknya rumah warga yang tertimbun dan rusak parah.

"Baru-baru ini, waduk yang sudah di perbaiki kembali rusak dan menghanyutkan rumah-rumah warga yang tinggal di dekat perairan, sehingga masyarakat wilayah barat meminta ganti rugi kepada kita."

Keluhan demi keluhan bergema didalam ruang rapat itu, para menteri saling berdiskusi, dan sekali-kali mencuri pandang kearah singgasana sang raja muda, yang hanya duduk diam disana.

Rambut hitamnya sangat tertata rapih, kilaunya emas berbentuk bulat yang terpasang di dadanya, sebagai tanda anggota keluarga kerajaan.

Dia dengan mudah mengeluarkan titah untuk tiap wilayah yang memiliki banyak sekali keluhan. Namun, saat seorang menteri yang mewakili wilayah Utara mulai mengutarakan kalimatnya, dahinya seketika berkerut samar.

"Lapor, kemarin sore seorang yang mengaku dari suku pedalaman datang ke pusat kota, dia mengatakan di depan umum bahwa penyebab semua bencana-bencana yang terus mendatangi negara ini tak lain adalah karena sang raja telah melanggar hukum laut."

"Apa maksud Anda?" Tanya menteri lain yang sedikit penasaran, sebab topik tentang laut ini sudah sering terdengar di telinga mereka semenjak banyaknya bencana alam datang.

"Dikatakan bahwa, sang raja telah mengambil mutiara laut yang begitu berharga, dan tidak pernah mengembalikannya lagi ke laut biru." Jawab sang menteri dengan tenang.

"Hmm? Mutiara laut?"

Satu persatu mereka mulai berdiskusi tentang perkataan sang menteri. Percakapan mereka mengalir begitu saja, tanpa menyadari bahwa wajah seseorang tampak menggelap.

Dalam satu kalimat, mulut semua menteri terbungkam dan menunduk patuh, diam-diam bergidik ngeri saat merasakan sapuan sorot mata yang dingin dari arah singgasana.

"Rapat hari ini berakhir."

...

Jauh di dalam ruang bawah tanah, di kolam renang yang cukup luas dimana sesosok makhluk berenang pelan di sana. Manik birunya tampak redup saat muncul di permukaan, ekornya sudah sembuh sejak lama, tapi dia belum mendapat kebebasannya lagi.

Seharusnya, seharusnya dia tidak harus mempercayai manusia... Seharusnya dia tidak perlu berenang ke tepian untuk mencari bantuan.

Sereiah menghanyutkan wajahnya kedalam air, jika saja dia tahu bahwa akan berakhir seperti ini,  dia tak akan pernah naik ke daratan sampai akhir hayatnya.

Soal hukuman, pikirannya melayang ke masa lalu, saat masih berada di lautan.

Hanya karena dia menolong anak nelayan yang hampir tenggelam, perbuatannya di pandang sebagai sesuatu yang salah, membuatnya di jatuhi hukuman penyiksaan oleh sang ratu—ibunya sendiri.

Perihnya luka masih bisa dia ingat, dan pandangan ibunya yang tampak kecewa membuat hatinya mencelos.

Namun, sebelum gadis setengah ikan itu larut dalam pikirannya sendiri, pintu besi itu dibuka dengan kasar.

Pria itu kembali lagi, menghampirinya dengan tergesa-gesa dan nafas yang memburu, membuatnya sedikit bertanya-tanya.

Tangan besar itu dengan cepat melingkari pinggangnya, sedangkan yang satunya menyentuh belakang lehernya, Ayato memeluk begitu erat.

"Sereiah-ku... Sereiah..." Gumamnya di sela-sela pelukan.

Setelah beberapa waktu dia menjauhkan dirinya, menangkup pipi gadis itu dan menggosok dahi keduanya.

"Aku takut...aku sangat takut... Kamu akan pergi..."

Ayato sering mengucapkan kata-kata ini, saat dia tersesat dalam pikirannya sendiri, ketakutan yang selama ini coba dia tutup tutupi.

Sereiah tak tahu harus berbuat apa, selama ini dia selalu menutup mulut dan tak pernah berbicara menggunakan bahasa manusia bukan karena tidak mengerti. Dia tahu, jika dia bahkan bersuara sekarang, pasti akan memperparah keadaan.

Suara duyung, bagaikan dua bilah mata pedang yang tajam. Orang lain menganggap suara mereka adalah sebuah keberuntungan, yang bisa memikat siapapun untuk tunduk pada mereka.

Tetapi bagi Sereiah, keberuntungan ini adalah kutukan. Jika saja dia mampu menutup mulutnya di masa lalu, saat dia yang linglung tanpa sadar merintih, melupakan akibat dari perbuatannya ini, dia pasti akan melakukannya tanpa banyak bicara.

...

Jauh di dalam dasar laut yang suram, sebuah istana megah berdiri di tengah lautan.

Ditengah aula, para prajurit air bersujud patuh dengan teratur. Seorang komandan bergerak maju dan membungkuk.

"Hormat kepada Baginda Ratu."

Di tempat yang tinggi, seorang wanita setengah ikan berdiri tenang. Pendar matanya menyapu seluruh pasukan yang telah kembali dari tugas mereka. Di tangannya menggenggam sebuah trisula—senjata mematikan yang bertugas untuk membunuh jiwa yang kotor.

"Kami sudah melakukan semua rencana tanpa masalah. Tetapi dari hasil pengamatan, manusia itu masih tak melakukan pergerakan apapun. Bahkan, utusan manusia yang di beri kompensasi untuk menyebar kebenaran telah terbunuh atas perintah sang raja."

Tangan putih itu meremat kuat trisula, komandan itu segera menunduk takut. Di hadapan sang ratu, mereka hanyalah remahan yang mudah di singkirkan.

Sang Ratu—Thalassa memejamkan matanya sejenak, mencoba menenangkan gejolak api amarah yang mengisi relung hatinya.

"Kembali."

Sepatah kata itu mampu menggerakkan seratus ribu lebih pasukan air untuk melangkah mundur dan menghilang dari pandangan.

Thalassa memijit pangkal dahinya pelan, sadar bahwa kepalanya pening atas situasi ini.

Dia bergerak pelan dengan trisula di tangannya mulai menghilang, menuju ruangan yang terkunci, itu adalah kamar putri mahkota.

Saat dia masuk, semuanya masih tampak sama dan tidak berpindah dari tempatnya. Kemudian, wanita itu mendekat ke sebuah lukisan besar yang tertutup kain putih.

Tangannya bergerak pelan, seketika mengoyak kain itu menjadi robekan kecil. Kelopak matanya bergetar saat jari-jemari itu mengelus sosok yang terukir indah disana.

"Sereiah... Ibu janji, akan menjemputmu pulang."

Dia mengadahkan telapak tangannya, sebuah kotak kaca muncul dalam sekejap. Benda itu terbuka, menampakkan dua mutiara biru yang berkilau aneh di dasar lautan.

Memang tak ada yang aneh, tapi jika diteliti lebih cermat permukaan mutiara itu transparan, samar-samar ukiran tata surya terukir disana.

Sorot matanya menjadi serius, saat dua mutiara biru itu perlahan bergerak melayang di depannya.

"Maaf Dewi Bumi. Tapi aku, harus mengambil kembali sesuatu yang telah di ambil dari sisiku."

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jul 18 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

𝐊𝐀𝐋𝐎𝐏𝐒𝐈𝐀Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang