2

36 6 0
                                    

Sudah tiga hari sejak Kenzi mengatakan bahwa Hayden berangkat bersama Ratu, dan besok adalah weekend. Rayi berpikir berulang kali apakah lebih baik membatalkan janjinya dengan Hayden.

Saling berkirim pesan memang bukan menjadi hal yang mereka berdua lakukan dan berkabar bukan suatu kewajiban bagi keduanya. Uring-uringan sudah jadi makanan sehari-hari bagi Rayi sejak ia tahu bahwa ia menaruh suka pada temannya itu.

"Kak, mau makan siang di luar nggak hari ini?" Kenzi menghadap ke arahnya.

"Makan apa dulu."

"Mie ayam aja di warung depan."

"Boleh."

Mie ayam depan kantor mereka memang terkenal enaknya, kuahnya banyak, bumbunya meresap, daun bawang yang dapat diambil cuma-cuma. Mie ini mengingatkan dirinya dengan yang ia makan ketika masih di Solo, tapi menurut Rayi tidak ada yang mengalahkan mie ayam dekat kost-kostannya dulu.

"Lo diem gini karena omongan gue kemarin?" Kenzi mulai pembicaraannya. Sebetulnya Rayi sudah menduga bahwa ajakan makan siangnya ini ada maksud lain. Mungkin Kenzi merasa sedikit bersalah.

"Lo cuma ngomong apa yang harus lo omongin." Rayi membuang nafasnya kasar.

"Jujur kak, gue seneng ngeliat lo seneng. Tapi hanya satu kalimat aja dari gue, lo udah bingung, uring-uringan."

"Gue tahu." Suara Rayi melemas. Pembicaraan seperti ini sudah berulang kali mereka lakukan, sudah sering ia dengar. Enam bulan awal Rayi dekat dengan Hayden, Kenzi mendukungnya penuh. Harapan Rayi juga sudah menjulang tinggi. Namun hingga saat ini, saat mereka sudah memasuki satu tahun pendekatan tidak kunjung juga Hayden menembaknya. Rayi dibuat bimbang luar biasa. Dukungan Kenzi pun mengendur. Lalu saat pertama kali Kenzi mendengar bahwa Hayden sedang dekat dengan seorang perempuan, Kenzi menentang hubungannya secara terang-terangan.

"Gue selalu cemas sama apa yang mungkin terjadi. Gue tahu gue bukan satu-satunya dan gue takut untuk mengakui itu secara terang-terangan. Setiap apapun berita yang gue denger, gue takut itu berhubungan dengan dia yang deket siapa lah, lagi pergi bareng siapa lah. Itu semua bakal nyangkut ke otak gue. Gue bakal berpikir gue dijadiin second option. Dia dateng ke gue kalau dia lagi kosong. Dia dateng ke gue kalau dia lagi bosen. Berkali-kali bahkan hampir setiap kali gue denger berita kayak gitu, gue mikir untuk ninggalin dia. Tapi ternyata gue nggak bisa, gue bego. Gue nggak bisa ngelepasin dia."

"Gue tau apa yang lo rasain, Kak. Gue ngerti kenapa ini susah buat lo. Tapi menurut lo, apabila suatu saat nanti lo jadi bareng dia, jadian sama dia, lo bakal tenang?"

Rayi terdiam. Ia tahu jawabannya.

"Lo bakal tetep cemas. Pikiran lo ini nggak akan bisa berubah. Lo pasti akan tetap terbayang-bayang ketakutan. Waswas. Coba sedikit demi sedikit dilepasin. Jangan takut sendirian. Jangan takut lo bakal gimana-gimana kalau ninggalin dia. Lo sama sekali nggak rugi." Kenzi menggenggam tangannya menyalurkan sedikit kekuatan.

Belum selesai Rayi mengucap balasan, ia melihat bayangan orang masuk pintu warung. Hayden dan ketiga teman departemennya.

Saat Kenzi hendak berbicara lagi karena Rayi tidak kunjung membalas, Rayi genggam tangannya cepat. Menandakan untuk jangan bicara.

"Oh Mas Rayi juga makan mie ayam toh?" Dimas, teman satu departemen Hayden menyapanya duluan. Kenzi yang sedang menatap Rayi langsung menolehkan kepalanya. Matanya membulat, panik mengetahui subjek yang dibicarakan sedang memesan mie ayam lalu duduk di meja sebelah mereka.

"Hai Mas Dim, iya nih, Kenzi ngidam katanya." Jawab Rayi sambil mencolek dagu Kenzi yang sedikit turun karena mulutnya yang masih terbuka.

"Halo Mas Dim, Mas Hayden, Mas Bayu. Makan mas." Tersentak, Kenzi menyapa mereka yang dibalas hampir serempak.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jul 16 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Our Place | Dongren | HyuckrenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang