Vania memandang sepanjang jalan yang ia lewati saat ini. Gadis bernama lengkap Vania Larissa itu sedang dalam perjalanan ke rumah barunya. Ia mengendarai mobilnya dengan kecepatan sedang. Hanya seorang diri. Setelah kepergian kedua orang tuanya satu bulan yang lalu, Vania memutuskan untuk pindah. Tidak mau tersiksa dengan kenangan indah bersama orangtuanya, ia rela meninggalkan rumah yang sejak kecil menjadi saksi kebahagiaan mereka dan padamnya kebahagiaan tersebut. Orang tua Vania mengakhiri hidupnya dengan meminum racun karena ditipu oleh teman dekat mereka. Dengan rayuan agar melakukan investasi berupa uang sejumlah tertentu maka uang itu nantinya akan menjadi sepuluh kali lipat lebih besar daripada sebelumnya. Keduanya menguras habis tabungan yang selama ini mereka kumpulkan. Namun, hanya omong kosong yang didapatkan orang tuanya. Nyatanya uang mereka tidak pernah kembali, berulang kali menagih janji sang teman sudah mereka lakukan. Sampai sebuah berita muncul di tengah rasa putus asa mereka, teman yang merayunya untuk berinvestasi ternyata telah menipu banyak orang. Memutuskan mengakhiri hidup mereka tanpa memikirkan Vania.
Hufft
Vania berulang kali menghela nafas saat ingatannya berputar pada kejadian mengerikan itu. Matanya memandang jalan yang dilewatinya. Sangat sepi, sedari ia melintas hanya terdapat beberapa kendaraan yang lalu lalang. Vania menatap ponselnya yang menampilkan arah menuju rumah barunya. Masih sore hari, tetapi udara terasa sangat dingin di sini. Melirik ke sekitarnya, Vania sedikit takut karena saat ini ia sekeliling jalan dikelilingi oleh hutan.
Hufft tenang Van, kamu gadis yang pemberani
Batin Vania terus menyemangati dirinya sendiri. Gadis itu menancap gas menambah kecepatan mobilnya. Bulu kuduknya berdiri mendengar suara jangkrik yang saling bersahutan. Perasannya semakin tidak karuan saat mendapati mesin mobilnya mati di ditengah jalan. Matanya memerah saat tahu ia masih di hutan. Rasanya ia akan menangis karena sangat takut. Mungkin ia akan bermalam di mobil malam ini, tetapi mengurungkan niatnya saat ingat dimana ia berada saat ini. Mendesah frustrasi, Vania menelungkupkan kepalanya diatas kemudi. Merenungi nasibnya yang malang. Hingga tiga puluh menit kemudian terlihat cahaya menyilaukan dari kaca spionnya. Vania tidak berani keluar saat sorot cahaya itu berhenti di samping mobilnya.
Tok tok tok
Kaca mobilnya diketuk dari luar. Vania semakin menenggelamkan dirinya di balik stir mobil. Ia tidak berani mengangkat kepalanya. Apakah itu hantu? Mengingat tempat ini sangat sepi. Namun pikiran tersebut segera ia tepis. Tidak ada hantu di zaman modern ini. Dengan keberanian yang ia kumpulkan, Vania menurunkan kaca mobilnya pelan. Terlihat bayangan seseorang.
"Kenapa mobilnya? Mogok?" Tanya orang itu pada Vania yang terlihat sedang menghela nafas lega. Benarkan. Bukan hantu. Hanya seorang wanita muda. Sepertinya seusia dengan Vania.
"Emm iya mbak, nggak tau ini mobilnya tiba-tiba mogok di tengah jalan." Wanita itu mengangguk paham.
"Mau ke Desa Aponia kan?"
"Iya mbak kok tahu?"
"Karena ini satu-satunya jalan buat ke Desa itu. Kebetulan aku juga tinggal di sana. Mau bareng sekalian?"
"Boleh mbak, tapi mobil aku gimana?" Seperti mendapatkan emas. Gadis itu sangat senang karena ada seseorang yang menolongnya.
"Tinggal aja disini, besok aja diurus lagi."
Vania langsung membawa beberapa barang yang dirasa penting. Biarlah barangnya yang lain akan ia bawa besok. Vania duduk dibelakang wanita tadi. Selama perjalanan hanya terdengar suara motor yang tengah mereka tumpangi.
"Emm makasih banyak ya mbak udah bantu aku. Nggak tau deh nasib aku tadi kalo nggak ada." Vania memecah keheningan tersebut dengan suara yang cukup keras agar terdengar ke orang di depannya.
"Hmm sama-sama. Jangan panggil mbak dong, kayaknya kita seumuran deh. Panggil aja Intan."
"Oke mbak Intan, eh Intan hehe. Tapi aku lebih enak manggil kamu mbak deh"
"Kamu baru pindah ke sini ya?"
"Iya mbak, aku pindah karena emm masalah pribadi sih. Pengen cari suasana yang tenang aja di sini. Kalau mbak Intan sendiri udah lama tinggal disini?"
"Yaa lumayan karena aku udah dari lahir tinggal di sini."
"Ohhh ya ya ya." Intan hanya mangut-mangut mengerti.
Keduanya telah sampai di depan pintu masuk Desa Aponia. Turun dari motor, Vania mengikuti langkah Intan yang sedang menuju pos penjaga. Terlihat seorang laki-laki muda yang sedang berbincang dengan Intan. Matanya sesekali melirik ke arah Vania yang masih menunggu. Sampai beberapa saat kemudian keduanya menghampiri tempat Vania berdiri.
"Van kenalin ini Randi, dia salah satu penduduk juga." Keduanya berjabat tangan dan berkenalan. Randi menyerahkan sebuah kertas penuh tulisan diatasnya. Vania yang bingung menerima kertas tersebut dan membacanya.
Perjanjian tinggal di Desa Aponia?
Matanya bergulir ke tulisan selanjutnya. Hanya berisi peraturan seperti pada umumnya. Namun kedua matanya membulat saat membaca peraturan terakhir.
Tidak boleh mengenakan sehelai pakaian pun dan menaati segala peraturan serta adat yang telah ada.
Gilaaaa. Ini benar-benar gila. Vania tidak mau, ia mengembalikan kertas itu ada Randi.
"Mbak yang terkahir maksudnya apa?" Gadis itu masih menggeleng tidak percaya.
"Seperti yang kamu baca Van, di Desa Aponia ini kamu harus mengikuti peraturan yang ada. Kalau kamu tidak menaati peraturan itu, akan ada konsekuensinya. Kalau kamu setuju kamu bisa tanda tangan di atas kertas itu. Tapi kalau kamu tidak setuju, kamu bisa pergi dari sini Van." Mendengar penjelasan panjang dari Intan semakin membulatkan niat gadis itu segera meninggalkan tempat ini. Matanya menatap ke depan Desa ini. Hanya ada hutan. Tiba-tiba nyalinya hilang mengingat perjalanannya tadi yang melewati hutan. Ia takut. Otaknya berpikir keras. Mungkin tidak apa-apa tinggal di desa ini sementara. Besok ia akan mengambil mobilnya dan kabur dari desa ini.
Entah sudah berapa kali ia menghela nafas hari ini. Dengan berat hati Vania menandatangani kertas tersebut dan meneteskan darah dari jempolnya untuk melengkapi perjanjian.
"Sekarang kamu ikut Randi masuk ke pos. Aku tunggu di sini ya." Ucap Intan sambil mendorong Vania pelan. Dengan ragu-ragu Vania mengikuti langkah Randi.
"Bajunya dibuka sendiri atau mau dibukain Van?" Tubuhnya semakin takut mendengar penuturan Randi.
~~~
Baca kelanjutannya di karyakarsa, sudah ada 4 part di sana ⬇️⬇️
Happy reading
Thankyou 🙂↕️
Luvv 💕
~meeraa