"Pasien bernama Yang Jungwon, sudah diperbolehkan pulang."
Begitu awalnya, awal dari semua dia bisa keluar dan menemui dunia yang bebas, bernapas tanpa rasa tercekat, merenung tanpa pikiran yang kalang kabut sehingga berujung harus disuntikan dengan obat penenang. Jungwon keluar dari balik kamar dengan jendela berjeruji besi.
Linglung serta bingung. Kini dia tidak lagi memakai baju pasien berwarna pucat yang sama dengan pasien lain, tidak lagi harus dibujuk ketika dia harus memejamkan mata untuk beristirahat tanpa memikirkan kemungkinan buruk terjadi.
Hanya saja, kebebasan tidak semudah itu didapatkan sepenuhnya saat sudah keluar dari tempat dia disembuhkan. Semua butuh tahapan serta proses, termasuk mempersiapkan diri untuk menghadapi buana yang entah akan ramah padanya atau malah sebaliknya.
Dunia luar terlalu liar, luas, bebas, ramai dan berisik. Tidak seperti di dalam bangsal yang hanya sepetak dengan ranjang dan meja, di sana memang berisik dengan teriakan atau ocehan pasien lain, namun rasanya tidak begitu mengganggu dan malah terdengar berbaur.
Jungwon tidak tahu apa definisi yang benar untuk dunia, jiwanya masih terasa seperti anak sekolah menengah pertama meski tubuhnya tidak mengatakan begitu. Dunia berkembang seiring berjalannya waktu disertai isi serta teknologinya, tetapi Jungwon merasa dirinya hanya berada di tempat dan rodanya berputar tanpa ada niat untuk melaju.
Tetapi Jungwon juga tidak cocok jika disandingkan dengan kata bodoh atau polos, dia tetap menjadi lelaki yang tumbuh sebagaimana mestinya.
Untuk pertama kali setelah sekian lama Jungwon bisa mengenakan pakaian normal seperti remaja pada usianya, rasanya senang meski wajahnya tidak mengungkapkan ekspresi apapun dan mulutnya tak mengatakan apa-apa. Saat duduk di dalam mobil yang melaju untuk pergi ke hunian sebelumnya, pandangan Jungwon hanya terpaku pada pemandangan di luar. Banyak sekali orang berlalu lalang dan kendaraan yang melewati mobilnya.
Saat kaki menginjakkan halaman rumah, mata yang tampak lesu dan kosong itu memindai rumah. Rasanya asing namun juga nyaman. Entah lah, Jungwon menjadi sulit untuk mengungkapkan apa yang dia rasakan bahkan dengan sekedar sorot tatapan mata.
Rasanya hampa, hanya itu yang Jungwon alami. Kehampaan dan perasaan asing lainnya bersarang dalam raga serta jiwa, bagaimana cara menghilangkan perasaan itu dia tidak tahu. Jungwon seperti terlahir kembali ke dunia baru dan masih butuh bimbingan agar menjadi manusia yang utuh.
"Ini kamar kamu, nak."
Begitu katanya, dia bukan suster tetapi Ibunya. Suaranya begitu lembut seolah jika menaikan nada atau volume sedikit bisa merusak gendang telinganya. Jungwon tidak merespon dan hanya memandangi kamarnya, lagi-lagi dia kembali membandingkan dengan ruangan yang dia tempati selama di rumah sakit jiwa.
Tidak ada jendela berjeruji besi, pintunya terbuat dari kayu dan bisa dengan bebas Jungwon kunci atau tidak, bukan terbuat dari besi dan hanya suster yang bahkan boleh membukanya. Warna dinding kamarnya berwarna biru muda bukan berwarna putih yang terlihat sedikit lusuh. Di salah satu sudut ruangan terlihat lemari kaca yang menyimpan banyak pencapaiannya beserta foto saat dia menerima itu semua. Ternyata dulu Jungwon sempat bersinar.
Ibu Jungwon meninggalkannya sendiri dan membiarkan pintu terbuka. Perlahan, Jungwon melepas sandal rumahanya dan berjalan tanpa alas kaki.
Cklek! Pintu balkon sudah Jungwon buka dan menampilkan pemandangan rumah-rumah saling berjejer rapi, anak kecil lewat bersama sepeda juga tawa riang karena sedang bermain dengan sang teman. Angin berhembus seolah menyuruh Jungwon untuk kembali masuk ke dalam kamar.
Tempat tidur yang sudah lama tidak ditiduri kini kembali bertemu dengan pemiliknya yang duduk di tepian.
Jungwon beralih berbaring ke tengah dan setengah meringkuk, merasakan bagaimana empuk dan lembutnya tempat tidur. Rasanya seperti dipeluk, hangat dan nyaman membuat Jungwon perlahan terbuai untuk pergi ke dunia lain dalam tidurnya.
Jungwon tidak tahu bagaimana dunia menunggunya, bagaimana orang-orang akan bersikap padanya, atau bagaimana nasibnya ketika kini dia harus berdiri sendiri.
Besok, Jungwon akan menjalani hari yang baru, yang tidak perlu lagi dijadwalkan atau diatur-atur oleh suster dengan peraturan yang ketat. Dalam diamnya dia berdo'a agar setidaknya orang-orang di luar rumah sakit jiwa bisa memperlakukannya dengan baik, sebagaimana mereka memperlakukan orang biasa tanpa memandang latar belakangnya yang menjadi mantan pasien Rumah Sakit Jiwa.
Karena Jungwon tahu, orang sepertinya akan sedikit sulit diterima atau diperlakukan seperti manusia biasa. Banyak dari mereka yang tidak berpihak pada orang seperti Jungwon dan menganggapnya berbeda. Sehingga bukan tanpa alasan orang-orang yang sama dengan Jungwon, seberusaha mungkin menyembunyikan identitas mereka, karena orang-orang yang tidak bisa menghargai atau memahami masa lalu orang lain.
Dunia serta isinya memang tidak dapat kita prediksi dan paksa untuk memihak pada diri kita sendiri, tetapi setidaknya mereka harus bisa saling menghargai juga mengerti karena kita sama-sama manusia.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bukan Kita [hiatus]
Fanfikce- sungwon [2] Cerita kali ini mengangkat isu perundungan, kekerasan, kata-kata kasar, serta trauma. Dimohon untuk mempertimbangkan lebih dulu sebelum membaca bagi kenyaman diri, terima kasih. Salam, Nejie.