***
Hai, terima kasih sudah mampir lagi! Jangan lupa tinggalkan vote dan komentar, ya—dukungan kalian bikin aku makin semangat nulis cerita ini!
Kasih love 💙 dulu sebelum mulai.
****
Memories 001 || [Tekanan Besar]
Aku menepuk-nepuk pundak sambil memejamkan mata ketika tiba di teras rumah. Sepanjang hari yang panjang itu, tubuhku terasa hampir remuk. Rasanya setiap langkah seakan menambah beban di bahu dan pinggang. Pikiranku terus berputar ke satu titik: bantal dan kasur. Tapi ketika membuka pintu, pemandangan di ruang tamu memaksaku untuk tetap tegar. Ibu duduk di sofa coklat panjang, ekspresinya serius, matanya menyapu diriku tanpa ada senyum. Tangannya menggenggam segelas air, tapi sorot matanya dingin dan menusuk.
“Baru pulang kamu?” tanyanya pelan, tapi ketegangan di suaranya jelas terasa.
Aku mengangguk, mencoba menjelaskan dengan nada tenang. “Iya, Bu. Tadi dari rumah sakit. Kava sakit.”
Sejak sore, hari-hari yang sudah panjang terasa makin melelahkan. Firhan—teman dekatku—menelepon dengan suara panik, Kava, putranya, mendadak demam tinggi. Waktu kupeluk tadi pagi di Daycare, tubuhnya terasa hangat, tapi siapa sangka sorenya demamnya melonjak cepat. Kami pun bawa Kava ke rumah sakit, dan dokter menyarankan rawat inap.
Sebenarnya aku ingin tetap di sana, menemani Kava, tapi Firhan memintaku untuk pulang, khawatir Ibu akan marah. Jadi, sebelum pulang, aku mampir ke rumah Firhan untuk mengambil pakaian ganti bagi mereka.
Ibu hanya menanggapi dengan sebuah anggukan singkat. “Oh.” Begitu saja, seolah cerita panjang tadi hanya angin yang berlalu. Tak ada pertanyaan bagaimana kondisi Kava. Aku tahu, mungkin memang tak ada simpati untuk anak laki-laki itu.
“Sini duduk dulu, Ibu mau bicara.” Ibu meletakkan gelasnya di meja, memberi isyarat agar aku duduk di sampingnya.
Aku duduk, rasa lelah makin menekan, tapi Ibu tampak tak peduli. Wajahnya tegang, matanya memandangku penuh arti.
“Sampai kapan kamu mau ngurusin laki-laki itu dan anaknya? Kamu tahu, kan, Ibu nggak suka kamu terlalu dekat sama mereka.”
Sudah kuduga ini akan jadi topiknya. Padahal berulang kali kujelaskan, aku kasihan pada Firhan. Dia sendirian di kota ini, jauh dari keluarganya di Surabaya. Bagiku, membantu Firhan dan menjaga Kava bukanlah pengorbanan besar.
Aku menelan napas dalam, mencoba menjelaskan lagi. “Apa salahnya kalau aku ingin berbuat baik, Bu? Firhan bukan orang jahat, dia baik.”
KAMU SEDANG MEMBACA
Unforgettable Memories [REVISI]
Romance[Republish dan direvisi] Dijodohkan dengan laki-laki yang menjadi penyebab kamu di-bully, gimana rasanya? *** Di usia 28 tahun, Winda terjebak dalam ketidakpastian. Trauma dari masa lalu masih membayang-bayangi, menjadikannya ragu untuk mencintai la...