09. Giliran Varen

11 3 0
                                    

"Aku ngga akan ikut salah satu dari kalian!, aku ngga butuh kalian!"

"Silahkan kalian mau cerai atau apapun itu, aku yang akan pergi dari rumah ini" ucap Varen yang lalu berjalan pergi dari ruang tamu itu ke kamarnya.

Di dalam kamar terlihat Varen yang mengemasi beberapa barang pentingnya seperti handphone dan dompet yang berisi barang-barang yang sangat penting baginya.

Setelah itu Varen mengambil kunci mobilnya dan pergi dari kamarnya itu, saat melewati ruang tamu Varen masih melihat kedua orang tuanya yang terus berdebat.

Mereka berdua bahkan tidak peduli melihat Varen yang hendak pergi meninggalkan rumah itu, saat Varen berjalan melewati keduanya tiba-tiba sebuah serpihan kaca melayang dari tangan Ibunya.

Srek!

"Argh!"

Varen berhenti sejenak ketika serpihan kaca melukai dahi atasnya yang tertutup oleh rambutnya, tapi beberapa menit kemudian darahnya mulai menetes.

"Varen" Ibu Varen terkejut ketika serpihan kaca yang ingin dia lempar ke suaminya malah mengenai Varen.

Terasa cukup perih, tapi Varen tidak menoleh ke arah orang tuanya ataupun lainnya sedikitpun dan kembali melanjutkan langkahnya pergi dari rumah orang tuanya itu.

Di luar rumah terlihat Varen yang hendak masuk ke dalam mobilnya, tapi tiba-tiba sebuah tangan menjulur dan menutup pintu mobilnya dengan sedikit mendorongnya hingga tertutup.

"Mau ke mana kamu, Varen?" tanya seorang pria tua dengan tubuh yang masih gagah.

"Mau pergi dari rumah ini, Kek. Udah capek denger Anak sama menantu Kakek bertengkar terus, entah itu katanya mau cerai" jawab Varen setelah melihat pria itu.

"Ayo masuk, ambil barang-barang kamu, tinggal sama Kakek aja" ujar laki-laki berumur 60-an itu yang lalu merangkul Varen dan sedikit mendorongnya untuk kembali masuk ke dalam mansion besar itu.

Flashback off.

"Dan lo tau, Ro. 2 hari yang lalu, orang tua gue udah cerai, dan lo tau lagi. Tadi siang, bokap gue ngirim undangan pernikahannya sama selingkuhannya."

"Anak mana yang mau hadir di pernikahan orang tuanya, Ro?. Anak mana?" tanya Varen dengan air mata yang sudah membendung di matanya.

"Tapi bukan berarti lo harus lari kayak gini, Ren. Ada gue yang selalu siap kalau lo butuh sesuatu, ada Kakek lo yang sayang banget sama lo. Jangan hanya karena kedua orang tua lo, lo jadi lemah kayak gini" jawab Zero.

Tapi Varen masih saja keras kepala, dia tidak mendengarkan jawaban dari Zero dan langsung memutus panggilan antara dirinya dengan sahabatnya itu.

Di sisi Zero, dia sangat marah mengetahui bahwa telfonnya dan Varen terputus sepihak, akhirnya dia pun langsung beranjak dari sofa kamarnya dan langsung meraih kunci mobilnya.

Dia melacak keberadaan Varen melalui sebuah aplikasi dan menyusulnya menggunakan kecepatan di atas rata-rata agar dapat menemukan Varen, walaupun jarak mereka sudah sangat jauh.

Kembali di sisi Varen, di sekitar pukul setengah 2 malam terlihat dirinya yang ingin kembali berhenti di rest area, tapi dia tersadar bahwa remnya blong.

"Anj*ng, gue ngga mau mati sekarang" desis Varen yang berusaha menghentikan mobilnya.

Varen berusaha untuk tidak panik, tapi karena mobilnya sudah dalam kecepatan yang sangat cepat, susah untuknya mengendalikannya dan berujung panik.

Di detik-detik terakhir, Varen mengingat wajah polos Faly yang terus berputar-putar di dalam ingatannya, setelah itu dia juga mengingat pertengkaran kedua orang tuanya.

Like a GameTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang