"Apakah sudah selesai, Nam?"
Sesosok pria berjubah coklat memasuki gedung tua, suara dering perhiasan kaki menyelingi bunyi langkahnya yang sempoyongan. Tak ada cahaya yang menerobos gedung tersebut, selain cahaya lilin di pojok ruangan, diitari berbagai totem, bebatuan, rempah-rempah, dedaunan, dan dupa. Sebuah lingkaran ritual yang masih digambar dengan batu kapur mengitari pernak-pernik tersebut. Saat Nam membalikkan badannya, dia hanya menatapi sang pria dan melanjutkan pekerjaannya.
".. Aku sudah membawa ayam hitamnya.", timpal si Pria sambil mengeluarkan ayam yang disembunyikan dibalik jubahnya. Dengan hati-hati dia meletakkannya diatas nampan sesajen yang sudah disiapkan tak jauh dari lingkaran ritualnya.
Keduanya tak bertukar kata-kata. Bunyi gesekan batu dan tanah menjadi satu-satunya bunyi yang paling menonjol di gedung itu. Sesekali bunyi burung yang lewat di sela-sela jendela dan atap gedung ikut berbunyi, namun semakin menghilang mengikuti gambar yang sudah selesai, seakan alam sudah tahu untuk menjauhi gedung itu sesegera mungkin.
Hawa dari gedung semakin pekat. Meskipun ritual belum dilakukan, rasa keyakinan yang menggebu-gebu dan ajimat yang digenggam ditangan si pria menjadi pemicu. Nafasnya semakin tersengal-sengal, dan bunyi tetesan air tiba-tiba terdengar menggema seisi gedung. Nam, sang dukun tiba-tiba berbalik untuk pertama kalinya menghadap si Pria. Matanya terbelalak, namun dia kembali diam dan terbangun. Lingkaran sudah siap, saatnya untuk bertindak.
Dia menghampiri sang pria dan menyodorkan tangan kirinya,
"Batu ... Jangan ada darahmu diatasnya. Tidak perlu.."Si pria memberikan batu ajimat yang dimaksudkan, dan tiba-tiba dia merasa penglihatannya mulai berkunang-kunang. Nafasnya masih tersengal-sengal, dan wajah dibalik jubahnya tampak berkeringat hebat. Tangannya saat memberikan batu tersebut saja gemetaran. Namun Nam sang Dukun tidak mau tahu. Dia menginspeksi kondisi batu tersebut, mengoleskan racikannya diatasnya hingga terlumuri sempurna, dan mengisyaratkan si pria untuk mengikutinya.
Nam mengarahkan dengan kepalanya menuju arah lingkaran dan berkata, "Duduk didalam. Jangan ada darah diatas lilin"
Si pria pun berjalan. Dia dengan berhati-hati berjalan dan memasuki lingkaran tersebut. Sesekali meskipun pusing telah menggerakkan kepala, dia mencuri pandang ke belakang memastikan tidak ada darah yang jatuh-
"JANGAN MELIHAT KE BELAKANG! TERUS JALAN!"
Si pria akhirnya berhasil memasuki lingkaran. Dia tak lagi memastikan apakah darahnya tidak menodai lingkaran ritual. Ketika dia mulai tersimpuh tepat diatas titik sentral lingkaran tersebut, dia menempelkan kedua telapak tangannya, dan memasang posisi hormat dan menutup matanya.
Semakin dekat, dia bisa mendengar suara nafas Nam si Dukun. Dan benar saja, Nam si Dukun sudah dibelakangnya, dengan membelah tubuh ayam hitam tersebut tepat diatas kepalanya. Batu tadi sudah dimasukkan ke dalam ayam tersebut, dan anehnya tidak ada darah keluar dari ayam tersebut. Dia mengangguk puas, dan mengeluarkan batu itu kembali dari ayamnya. Dia menaruh batu itu diatas kepala sang pria, dan berkomat-kamit.
Seakan sebuah pertanda, angin gemuruh yang sangat kencang mulai terdengar dari luar gedung. Bunyi ranting pohon menampar sisi gedung dengan sangat keras, menjadi saksi bahwa angin diluar sangatlah dasyat. Namun sang pria berjubah tidak gentar, dia tetap bersimpuh dengan tekad yang membara.
Ketika Nam si Dukun mulai menusukkan sebilah pisau ke dadanya, dia tersenyum. Seakan marionette yang lepas dari talinya, dia terjatuh kedepan, tak sadarkan diri.
Ritual selesai.
"....... Kau sudah tahu konsekuensinya, dan kau harus menghadapi karma yang setimpal akan keegoisanmu. Semoga kamu berhasil melawan waktu, Nhu-"
KAMU SEDANG MEMBACA
[GeminiFourth] Again
Fanfiction[KongthapAtom - LimingHeart - GunTinn] [BL - BXB] [Reincarnation ABO AU] [Future MPREG, Plotline-based] "Aku tidak bisa melindungimu, jadi izinkan aku melindungimu dikehidupan selanjutnya" Gun merasa ini adalah karma sudah meledek Ibunya kalau lakor...