Sheryl Carter meletakkan bokong di atas ranjang ayahnya dan hanya mengenakan celana dalam pink muda. Sambil menghirup kolonye ayahnya yang tertinggal di bantal, dia menjentikkan jari ke celana dalam dan menggosok celah basahnya. Tubuhnya yang berusia sembilan belas tahun sontak tersentak di atas kasur.
Ini bukan pertama kalinya Sheryl menyelinap ke kamar ayah tirinya untuk masturbasi. Dia telah melakukannya berkali-kali sebelumnya, dan semakin meningkat selama beberapa bulan terakhir. Agar tidak tertangkap, Sheryl selalu berhati-hati untuk tidak mengganggu selimut dan bantal; mengembalikannya ke posisi semula sebelum meninggalkan ruangan.
Awalnya, Sheryl hanya berani bermain di kamar Manuel saat pria itu pergi bekerja. Namun seiring waktu, dia semakin berani dengan ritual ini. Seperti yang terjadi hari ini, ayahnya ada di rumah dan dia dengan nyali besar menyelinap ke dalam kamar pria itu.
Dari arah kamar mandi yang berada di sudut ruangan, Sheryl bisa mendengar suara pancuran air mengalir dan dia menjadi begitu gugup. Pintu kamar mandi yang berjarak beberapa meter dari tempatnya berbaring lagi-lagi dalam keadaan terbuka. Manuel tidak perlu repot-repot menutupnya karena itu adalah kamar mandi pribadinya dan berada di dalam kamar.
Tapi Sheryl adalah putri tiri yang nakal dan terangsang. Dia suka melanggar privasi itu. Hanya dengan mengenakan celana dalam, dia mengusap-usap celah basahnya dan mengembuskan erangan kesakitan yang dalam, dan lebih terangsang lagi oleh kedekatan jarak antara mereka berdua. Cukup satu langkah saja ayahnya keluar dari kamar mandi, maka Sheryl akan terlihat sepenuhnya.
Di bawah pancuran air yang hangat, Manuel sedang memeras botol sampo ke tangannya. Sama sekali tidak menyadari Sheryl terjerat di seprai dan meraba vagina. Gadis itu menarik celana dalamnya ke tepi lalu melebarkan bibir vaginanya. Kemudian dengan licik dan sengaja, Sheryl mengangkat pantat dan paha dari kasur, mengarahkannya ke arah pintu kamar mandi, lalu menjentikkan jari di celah femininnya. "Datanglah padaku, Ayah. Datanglah pada cunny kecilku," bisiknya, memanggil-manggil ayahnya.
Sheryl tahu benar kalau dia tidak memiliki waktu lama untuk bermain-main di kamar ayahnya. Dia harus berlari keluar saat pancuran air berhenti. Untuk itu, dia harus bertindak secepat mungkin. Dia mengangkat pahanya lebih tinggi, lalu melepas celana dalam dan menendangnya ke samping.
Kemudian dengan gusar, dia menggenggam seprai di tangan, menempatkannya di atas vaginanya, dan mulai menggosok klitorisnya dengan kain sutra tersebut. "Aku akan mengompol di seluruh sepraimu, Ayah," bisik Sheryl pada dirinya sendiri, cukup yakin suara pancuran mampu menutupi suaranya.Sheryl meremas-remas payudaranya dan mencubit putingnya. Satu tangannya yang lain gigih menggosok vagina kecilnya dan sesekali menyerempet ke klitnya. Gesekan yang terjadi antara dirinya dan seprai ayahnya membuatnya menyebarkan kedua lutut makin lebar karena rasanya begitu kuat dan nikmat.
"Ya Tuhan, aku sangat menginginkanmu, Ayah," desis Sheryl, mengerang dan menggosok dirinya dengan keras.
Ditolong oleh suara air yang terus mengalir di pancuran, Sheryl tak berhenti mendesah.
Dia melengkungkan punggung di atas kasur, memejamkan mata, dan membayangkan ayahnya yang berada begitu dekat dengannya. Apakah ayahnya di kamar mandi sedang keras? Apakah ayahnya mengusap kejantanannya di bawah pancuran? Apakah ayahnya menyabuni dirinya dengan banyak buih dan busa?Semua bayangan itu menguasai benak Sheryl hingga membawanya menuju klimaks. Lebih dari apa pun di dunia ini, Sheryl sangat suka berfantasi tentang ayah tirinya. Walaupun tahu semua itu salah, dan seharusnya dia berhenti dan merasa malu, tapi Sheryl tidak melakukannya. Dia justru mengerang lebih dalam, bermain dengan celah vaginanya dan klitorisnya sambil membayangkan mulut dan tangan ayahnya berkerja di sana. "Kumohon, tiduri aku, Ayah! Tiduri vagina kecilku!"