01

276 36 13
                                    

Kalau boleh meminta, sepertinya di kehidupan berikutnya Sakha mau dilahirkan jadi pohon kelapa saja. Dengan syarat pohon kelapanya harus yang tepat menghadap laut supaya Sakha bisa terus lihat pemandangan indah sepanjang hidupnya. Menjadi pohon kelapa mungkin akan lebih mudah dijalani timbang hidup sebagai manusia yang sejauh ini Sakha rasakan sih makin tua makin sulit saja ujiannya.

Pernah tidak sih kalian melihat pohon kelapa mencoba menyembunyikan tangis dibawah guyuran air hujan? atau melihat pohon kelapa menangis karena gak bisa beli bahan-bahan ujian sekolah akibat gak pegang duit sepeserpun? Sepertinya belum pernah ya? Atau lebih tepatnya tidak akan mungkin pernah.

Pohon kelapa hanya perlu berdiri saja, mungkin sesekali bergoyang kanan-kiri mengikuti arah tiupan angin. Tapi jika jadi manusia, Sakha tidak hanya berdiri namun ia harus berjalan, berlari, terkadang terjatuh juga kehilangan arah hidup.

Lelah rasanya, namun Sakha bisa apa selain bertahan?

Eza Arsakha merupakan seorang siswa kelas 3 SMK yang bersekolah di pusat Kota Bandung. Sakha masih muda, umurnya belum genap delapan belas tahun namun kehidupan yang sudah dilaluinya belum tentu kuat dihadapi oleh kebanyakan anak seumurannya.

Jangan sebut Sakha orang gila karena berkeinginan terlahir kembali menjadi pohon kelapa, atau memang ada kemungkinan dasarnya ia sudah gila ya? Entahlah, belum tau jawabannya karena Sakha gak punya cukup duit untuk tanya ke dokter. Mungkin nanti jika sudah bekerja dan punya pendapatan sendiri, Sakha akan coba cari jawabannya.

Ditengah gempuran hidup yang rasanya bikin sesak dan sakit kepala, Sakha harus dihadapkan dengan kenyataan pahit kalau mama harus berjuang dengan penyakitnya. Virus yang menyerang sistem kekebalan tubuh dan belum ada obatnya itu dengan teganya menyerang habis-habisan tubuh mama, dokter bilang sudah masuk stadium empat.

Sakha rasanya seperti tersambar petir di siang bolong, kaget bukan main. Kakak yang kebetulan menemani pun tidak jauh berbeda dengan Sakha, termenung dalam diam sembari memikirkan akan bagaimana kedepannya.

Setelah diberi tahu penyebab mama hilang kesadaran, mama diharuskan menginap supaya dapat perawatan yang tepat.

Jika boleh jujur, sebenarnya rumah sakit adalah tempat yang paling Sakha dan mama benci karena tak ada sedikitpun memori menyenangkan yang terjadi di sana. Selalu saja berita duka yang mereka dapat. Mulai dari papa yang gagal bertahan melawan infeksi paru-parunya tahun 2012 lalu, juga Gea yang kehilangan masa kecilnya karena gagal bertahan melawan infeksi selaput otak yang dideritanya.

Ruang isolasi IGD yang dinginnya menusuk tulang kini jadi tempat Sakha tinggal sementara. Ya mau bagaimana lagi? Mama cuma punya Sakha sedang kakak sibuk mengurus anaknya yang masih balita. Kebetulan sekolah pun sedang libur, Sakha masih punya waktu 9 hari sebelum kembali ke rutinitasnya sebagai siswa. Semoga sebelum sekolah masuk, mama sudah kembali sehat dan bisa pulang ke rumah. Walaupun kamar kontrakan tempat mereka tinggal jelek dan sempit, setidaknya di sana lebih baik daripada menginap di rumah sakit yang hawanya kurang sedap dirasa.

Bulan Desember hanya tersisa beberapa jam lagi, tak terasa ya 2018 akan segera usai. Hampir setahun penuh Sakha dan mama terus berjuang bertahan hidup, membanting tulang melakukan apapun yang bisa menghasilkan uang dan mencukupi kebutuhan yang rasanya tidak ada habisnya. Terhitung sudah 5 tahun sejak ia ditinggal papa, berat rasanya tapi yang namanya kehidupan tentu tidak pernah menunggu Sakha untuk siap. Siap tidak siap, mau tidak mau Sakha dan mama harus tetap hidup.

Malam ini IGD masih sama ramainya. Dari kamar mama dirawat dapat Sakha dengar sayup-sayup suara ambulan yang datang silih berganti, entah datang membawa pasien rujukan rumah sakit lain atau membawa korban kecelakaan Sakha tidak begitu bisa menebak karena terlalu banyak kemungkinannya.

if i stay ; shinjaeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang