02

103 23 2
                                    

"Kamu maunya cari apa? Kalau mau cari tukang nasi goreng yang enak mending beli yang di sebrang alfamart aja, tapi kalau kamu maunya ayam geprek atau bakso ya harus jalan rada jauh soalnya tempatnya agak terpencil. Apa mau lumpia basah?"

Begitulah jawaban Jiwa kala Sakha bertanya mau cari makan apa. Tadinya si lelaki yang lebih muda memang berniat untuk cari makan sendiri karena kalau dipikir-pikir seharian ini perutnya belum terisi makanan berat. Tujuan utamanya adalah warung tegal sederhana yang berada di sisi kanan indomaret, karena selain harganya yang ramah di kantong rasanya pun gak pernah mengecewakan. Sayangnya warteg yang dituju Sakha tutup dikarenakan si ibu pemilik warung sedang mudik ke kampung halaman, begitu kata tukang parkir yang mendapati Sakha termenung di depan warung dengan wajah setengah murung.

Baru saja Sakha akan berbalik dan cari warung makan yang lain, Jiwa yang entah sejak kapan sudah duduk di bangku besi yang katanya sering menjadi saksi bisu beratnya hidup memanggil dan mengajak Sakha untuk nongkrong sejenak.

"Kamu tuh di rumah sakit mau nungguin orang sakit apa mau berburu kuliner sih sebenernya?"

Jiwa terbahak, tangannya bergerak untuk menepuk pelan pundak Sakha yang duduk di sebelahnya. "Nunggu orang sakit tuh butuh tenaga banyak, harus makan enak biar semangat."

"Aneh, aku punya keinginan buat makan aja udah bersyukur banget."

"Gak boleh gitu dong, yang namanya jaga orang sakit tuh harus kuat harus makan. Emangnya mau ikutan sakit?"

"Gak mau lah,"

"Makannya, gimana udah kepikiran mau beli apa?" Jiwa bertanya seraya mengeluarkan roti isi keju dari bungkusnya, kebetulan sore ini sudah masuk jam besuk jadi ia dan Sakha bisa keluar sejenak untuk sekedar cari makan.

"Seringnya beli nasi di warteg, itupun kalau kakak atau sodara yang lain gak bawain makanan dari rumah. Ditawarin pilihan banyak sama kamu malah bikin aku bingung,"

Jiwa membagi roti isi keju ditangannya menjadi dua bagian, satu untuk dirinya sendiri dan satu lagi ia berikan untuk Sakha yang lagi sibuk memperhatikan lalu-lalang kendaraan. "Makan ini dulu,"

Sakha menatap potongan roti yang diulurkan Jiwa padanya, "Gak usah gapapa,"

"Kalau nolak saya buang loh,"

Lagi-lagi Jiwa dan sifat agak pemaksanya itu membuat Sakha mau tak mau menurut. Diambilnya roti itu kemudian ia makan, lumayan lah untuk mengganjal perut barang sebentar itu pun kalau Jiwa gak terlalu banyak omong soal pilihan menu apa yang seharusnya mereka makan sore ini. Padahal kalau dipikir-pikir tepat di depan indomaret tempat mereka duduk kini juga ada tukang bakso dan mie ayam. Tapi Jiwa gak menyarankan Sakha untuk membeli makan disana.

"Mahal doang, rasanya biasa aja." begitu katanya.

"Ya terus kamu maunya makan dimana?"

"Burjo?"

Sakha berdecak, "Itu namanya cuci mulut, mana kenyang makan burjo doang."

"Nasi bakar mau? Abis itu kita makan burjo madura,"

"Enak gak?"

"Enak lah, kamu kalau cari orang yang ahli dalam bidang ini udah betul saya orangnya."

"Terserah deh, sekarang aja yuk berangkat. Jam besuk tinggal satu jam lagi, nanti mama gak ada yang temenin." Sakha beranjak dari duduknya sembari memasukkan hp dan dompet ke dalam saku jaket abu-abu yang ia kenakan.

"Loh katanya bude kamu mau ikut temenin? Gak jadi tah?" Jiwa ikut berdiri dan mencoba untuk mensejajarkan diri dengan Sakha yang sudah jalan duluan. Tidak lupa ia bawa kantong keresek putih yang tadi disimpan di atas meja, isinya lumayan penting. Ada beberapa sachet tolak angin dan freshcare untuk berjaga-jaga.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Aug 25 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

if i stay ; shinjaeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang