Seven Sisterhood : 1

184 23 0
                                    

--☆--

Bogor


Mendung di langit sore dengan rintik kecil menghiasi atmosfer gadis jangkung kala pulang dari sekolah. Gusar ia berjalan—tidak khawatir cipratan tanah basah mengotori kaus kaki dan seragamnya yang sudah kusut. Sorak sorai dari rumah ke rumah di kampung nya masuk tanpa permisi kedalam telinga, langkah nya semakin terburu ketika beberapa lelaki dewasa tak bermoral menyahuti berkali-kali.

Laura Putri Wirasana nama lengkapnya, disinyalir anak dari seorang wanita cantik di ujung kampung. Kulit putih dan rambut semampainya sudah cukup membuat 1 kampung tak percaya anak perempuan sepertinya masih bisa terhindar dari tradisi kawin paksa yang bisa saja diajukan oleh beberapa lelaki dewasa di sana.

Pagar bambu mulai terlihat. Sebentar lagi tangan nya meraih pagar untuk di buka. Sebuah tepukan di pundak menghasilkan reflek memukul ke arah belakang. Seorang lelaki jatuh terjengkang dengan kotak makan di dada nya. Ringis kesakitan terdengar. Pelaku terkesiap.

"Jaya?!" Kepalan Laura melemas lalu menghampiri lelaki bernama Jaya untuk membantunya berdiri.

"Kayak biasa ya, Ra. Kamu mukul kayak bukan cewek."

"Maaf ya, gak tau. Tadi waktu pulang di godain terus sama laki-laki di gapura kampung. Keparnoan."

Jaya mengangguk paham. "Ini sayur dari Mbok buat kamu makan malam, Ra."

Laura menerima dengan senang hati. Ia menghela napas lega sekaligus terharu, lalu meremat kotak makan dengan rasa bersyukur. "Makasih ya sama Mbok. Juga maaf udah mukul kamu."

Gestur oke diberikan oleh Jaya. Rumah keluarga kecil Jaya bersama si Mbok tepat berada di samping rumahnya. Hanya mereka yang selalu tulus membantu Laura dan Ibu. Dan kini Laura hanya tinggal sendiri di rumah. Dirinya masih menyesuaikan suasana baru kala rumah tidak ada lagi sosok Ibu.

💮

Asap mengepul dari mie instan panas. Laura membawa panci berisi makan malam nya ke meja kayu tepat di samping semangkuk sayuran buatan mbok. Karena tidak memiliki secuil nasi dan ditakutkan listrik padam karena memakai magicom berlistrik tinggi andalan Ibu nya, Laura memilih memasak mie instan saja. Sayur sawi itu kini berpindah berada di dalam panci menyatu bersama mie.

Laura mulai menyuapkan makan malam nya sambil memainkan handphone jadul j2 prime, game bawaan ia mainkan disana, sebuah surat bercetak tebal mewah menarik perhatiannya. Jaya sempat kembali untuk memberikan surat itu. Masih sambil makan, Laura membuka surat lebar-lebar meninggalkan layar handphone bersama sound game yang berputar terus menerus. Cukup panjang berisi kalimat dan paragrafnya hampir menghilangkan nafsu makan. Sekelebat matanya tertarik pada kalimat akhir paragraf.

Laura, Papa mau kamu kembali bersama ke dalam keluarga Papa. Wirasanu sebagai bagian dari kamu, nak.

Laura mematung. Kepala nya teringat sesuatu. Mencoba mengulik masa lalu yang telah jatuh di memori. Sendok berdenting di lantai. Laura linglung berjalan menuju kamar. Dengan kasar tangannya mengorek isi tas. Geraman frustasi keluar dari mulutnya. Sebuah botol kecil berhasil diraih. Laura mengeluarkan sesuatu dari sana dan menelannya tanpa menenggak air. Beberapa pil berjatuhan. Dada nya naik turun, kepalanya terlewat pusing, genggaman pada tumpuannya mengeras.

Seakan semuanya kembali dengan normal, Laura berjongkok lalu meraih satu persatu pil di lantai. Tidak peduli higienis atau tidak, yang pasti pil mahal itu tidak terbuang sia-sia. Pil yang sering kali di cekcok an oleh Ibu sedari dulu untuk menekan pada yang ada di diri Laura.

Dirinya kembali menuju meja makan dan melihat seutas kalimat di sisi lain surat.

| Jalan Jalakrana, Wirasanu 007, Jakarta |

Seven Sisterhood | BABYMONSTERTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang