--☆--
Dua hari kemudian. Laura masih tetap pada pendiriannya. Ajakan Pedro tidak ia gubris. Untungnya tidak ada paksaan berujung penculikan. Dan selama 2 hari itu, kartu alamat terus berdatangan silih berganti waktu. Pagi, siang, sore—bahkan tengah malam. Laura agak bergidik ngeri mengingat Pedro selalu mengirim orang untuk sekadar mengantar secarik alamat.
Kertas kualitas top berwarna hitam putih berbentuk persegi panjang kembali menghiasi keset jerami teras rumah. Laura berjongkok meraihnya dan kembali membuang nya di tumpukan daun kering. Jaya melirik dari halaman samping—tengah menyapu. Lelaki putus sekolah itu mengangkat alis—bertanya. Laura balas menggeleng lalu melambaikan tangan sebelum berlalu pergi.
Hari ini adalah hari pertama ujian kelulusan. Laura membuka halaman bukunya dan membaca rangkuman demi rangkuman. Langkahnya tidak terganggu walau fokusnya terbagi 2. Di sela-sela komat-kamit menghapal kalimat Laura merogoh kantong rok nya mendapati 3 lembar uang 5rb an dan 3 koin 500 perak.
Sudah berhari-hari absen dari kerja paruh waktu karena situasi sulit. Kini ia harus memutar otak bagaimana membiayai hidupnya. Bingung pikirnya bagaimana Ibu bisa membeli pil mahal itu tanpa keluhan.
Di jalan setapak, Laura reflek berbalik. Diam berdiri sembari matanya menelisik semak satu persatu. Ia mundur beberapa langkah, di ikuti perasaan tidak nyaman Laura langsung bergegas lari. Tanpa sadar sebuah kartu berwarna hijau jatuh lewat selipan bukunya. Sesuatu dari semak menyembul dan menatap kepergian Laura.
Wanita pirang itu menepuk keningnya sendiri. Begitu pula gadis di sampingnya. "Kak Binke gimana si ah! Kabur kan anaknya," sewot gadis itu.
"Resa. Kamu biang masalahnya disini."
"Kak, sumpah? Ngeluh laper doang aku lho. Kak Binke yang tiba-tiba nyikut, manusia mana yang perutnya disikut gak ngilu-
"Syut! Udah ah, nanti siang kamu gak usah ikut-ikutan. Bisa-bisa saya dimarahin sama Bapak, dikira bawa anaknya buat bolos seharian." Sang bodyguard perempuan bernama Binke kembali memakai kacamata hitamnya.
Resa berdecak kesal, nyaris julid. "Nyenyenyenye," ejeknya. Kedua tangan masuk kedalam kantong hoodie, langkahnya gusar menyamai langkah Binke.
"Udah nyarap Kak? Temenin aku ya. Hidden gem mana lagi yang Kakak temuin di Bogor?" tanya Resa dengan riang.
"Semua staff selalu dapet jatah sarapan. Bukannya kamu udah sarapan sama anak-anak yang lain?" Pandangan Binke lurus menatap jalan.
"Kayak gak tau aja. Trauma tau makan semeja sama 5 princess garong. Bisa-bisa aku di ngap sama mereka."
Binke menahan tawa sebelum membalas ia teringat kalimat dari kartun yang ia tonton semalam. "Kalau mereka ngap, kamu tinggal ngep."
"Umur 27, tontonan masih aja si kembar botak." Resa tetap tertawa mendengar jokes itu. Keduanya menyunggingkan senyum dan tawa kecil yang serasi. Jam pintar di pergelangan tangan Resa bergetar, diangkatnya pergelangan tangan sehingga layar jam terpampang jelas. Air wajah Resa berubah cemberut.
"Baru juga di omongin, ketuanya malah nelepon." Tangan kirinya kembali masuk ke dalam kantong—enggan mengangkat panggilan. Binke melirik.
"Rana?" Resa mengangguk. "Ayo kita nyarap. Saya yang bayarin."
Binke terpancing untuk tersenyum melihat wajah Resa berubah gembira dan semangat. Resa mempercepat langkahnya. Matanya melirik sesuatu yang sudah ia injak, ia berjongkok meraih kartu hijau itu ditatapnya kolom nama di samping pas foto berukuran kecil. "Laura Putri Wirasana, Kak kayaknya ini kartu ujian Laura deh."
KAMU SEDANG MEMBACA
Seven Sisterhood | BABYMONSTER
FanfictionLaura tidak pernah menyangka bahwa kehidupannya yang berada di bawah kemiskinan dan kriminalitas kini bisa menaiki tangga kemewahan berkat bantuan ayah kandung nya. Tapi dia tidak bisa langsung senang merayakan pundi-pundi harta yang kini mengelilin...