Januari 2024
"Kalian jangan buang sampah sembarangan, ya," perintah Rav.
"""Iya, Bu!""" seru seluruh murid berseragam putih merah itu. Terkecuali Lofi, dia hanya diam.
"Kenapa Bu?" tanya Lofi penasaran.
"Soalnya itu enggak baik. Nanti bisa jadi banjir," jelasnya. Rav menggunakan nada yang ramah dan sederhana.
"Oh ..., berarti orang tua aku jahat, Bu?" anak itu menimpali.
Bell sekolah berbunyi memerintahkan pulang
"Sikap," komando ketua kelas seperti seorang kapten. Lalu bawahnya mengikuti perintah.
"Beri salam," katanya lagi bernada.
Setelah salam, Ibu Guru keluar kelas. Meninggalkan Lofi dan pertanyaannya yang belum terjawab.
"Tidak semua orang itu baik, apalagi orang dewasa," gumamnya pelan sampai tidak terdengar.
***
Kulit pisang basah membusuk di helm yang terbalik. Rav menatap jijik, hidungnya bahkan mati rasa, kemudian menoleh ke mobil kepala sekolah yang terparkir di dekatnya. Tidak ada manusia, hanya buah-buahan parcel yang terpajang di atas dashboard.
"Orang tuamu bukan satu-satunya, Lofi," gumamnya sambil menyindir.
Bunyi bell notifikasi terdengar. Rupanya itu pesan teks dari Baim. "Zu, cepat ke sini."
Dengan enggan tapi terpaksa, wanita itu mencapit sampah basah di helmnya dengan dua jari—jempol dan telunjuk. Sayangnya tidak ada tempat sampah di sana, dan dia terlalu terburu-buru untuk mencarinya.
Plastik atau wadah apa pun juga tidak punya. Jadi tidak bisa dibawa begitu saja. Matanya teralihkan ke satu-satunya pilihan—sungai samping parkiran.
Notifikasi dari Baim terdengar lagi. Seperti menyuruhnya untuk lakukan saja. Dengan terpaksa, Rav melemparkannya ke sungai, yang merupakan tempat sampah bagi para penjual depan sekolah.
***
Rav di atas kuda besinya yang semakin dekat dengan tujuan, semakin lambat rodanya berputar. Gadis itu bingung, orang-orang di sekitarnya sibuk membersihkan garam di jalanan dan halaman rumahnya masing-masing.
Tidak terkecuali Baim, yang bahkan menyemprotkan air ke pohonnya. Membersihkan dahan, daun, dan buah dari butiran garam.
Gadis itu menghentikan motornya, persis di samping Pria itu.
"Kenapa?" tanya Rav sembari memarkirkan motornya.
"Biasa, orang perusahaan. Tadi mereka mengirim santet," ketusnya Baim menyembunyikan geram.
"Pakai garam?"
"Iya, sisi positifnya, kita dapat dua stoples garam gratis, Zu." Ekspresi Baim berubah ceria.
Gadis itu hanya tersenyum dengan sayu. Adiknya itu sering sekali memberi kejutan. "Ngomong-ngomong gimana interview-nya?"
"Yah, biasalah. Kalah sama ordal. Santai, besok aku ada lagi, tapi perginya harus pagi buta banget," terangnya dengan mudah seolah bukan masalah.
Kaki Rav berjalan masuk ke rumah, ke kamar, dan melemparkan diri ke kasur. Bau busuk tetiba saja menyerang hidungnya. Rupanya sisa-sisa sampah pisang menempel pada rambut. Gadis itu menghela nafas agar tenang, dan merenungkan permasalahannya.
Dibenci kepala sekolah karena Rav memberi hukuman pada anaknya. Adiknya sendiri, pengangguran karena minimnya relasi, bukan keahlian. Ada perusahaan yang mengklaim kawasan tempat tinggal mereka, sudah dilaporkan tapi tidak ada tanggapan dari pemerintah, kerap mereka meneror warga supaya pindah. Belum lagi upahnya yang kecil, tidak akan bisa menghidupi dua manusia terus-menerus.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bala Raya Cloververse
Science FictionDi seluruh dunia dan seluruh masa, kisah penciptaan semesta raya tercipta. Semuanya terdengar tidak masuk akal. Begitu pula kisah penghancurannya. Namun apa jadinya jika ada makhluk paling logis bisa menyatukan kedua kisah? Entah anugrah atau kutuka...