Sick

308 32 0
                                    

Agus dan Lavid sedang berada di kamar Gavriel. Sedangkan si empunya kamar justru menutup diri di balik selimut, menangis.

"Udah Gav, jangan nangis lagi, gue beliin permen satu ton deh," rayu Lavid sedikit mengada-ngada.

"Maaf kita gak ada pas lo dihina sama si itu, lo marah sama gue dan Lavid?" tanya Agus.

"Nggak," jawab Gavriel pelan.

"Kalo nggak marah, kenapa gak mau liat kita berdua?" tanya Agus lagi.

Gavriel pun pelan-pelan membuka selimutnya.

Agus dan Lavid terdiam melihat keadaan Gavriel.

Daripada kasihan, mereka lebih ke arah gemas melihat ekspresi wajah sahabat mereka itu.

Walau terdapat beberapa lebam tapi itu tidak mengurangi kadar keimutan Gavriel.

Pipi, hidung, dan matanya memerah, rambutnya mencuat kesana kemari, dan bibirnya melengkung ke bawah.

"Gav, ini lu kenapa malah keliatan cute kayak ce—"

"Lu mau bilang gue kayak banci juga?!"

Lavid mencubit pinggang Agus karena ucapannya yang disalahpahami oleh Gavriel. Sekarang anak itu justru semakin menangis.

"Gak gitu maksudnya si Agus, lu gak cewek ataupun banci. Lu sangar dah, lebih sangar dari Bang Fahas,"

'Tapi bohong, maaf Gav, lu emang cute.' Lanjut Lavid dalam hati, tentunya.

Gavriel berhenti menangis dan menarik ingusnya.

Lucu. Asli.

"K-kak Abriel ada di rumah gak pas kalian kesini?" tanya Gavriel.

"Ada, lagi kerkom sama kawan-kawannya."

Gavriel merengut. Pasti akan terjadi sesuatu yang kurang mengenakkan lagi antara dia dan Abriel.

"Pengen keluar~" Rengek Gavriel.

"Lagi bonyok gini masih mau keluar?" tanya Agus tak habis pikir.

"Males di rumah, pasti kena marah lagi sama Kak Abriel."

"Ayolah, cari rencana apa kek biar bisa keluar~"

Agus dan Lavid saling pandang. Biasanya Gavriel tidak serewel ini.

"Gav," panggil Agus sambil menyentuh dahi sang sahabat.

Panas.

"Pantesan rewel, panas dia," ucap Agus pada Lavid.

Lavid menyentuh leher dan dahi Gavriel, ternyata memang seperti yang dikatakan Agus.

"Yaudah gue ambil kompresan, jagain dulu,"

Lavid keluar dari kamar Gavriel, ketika ia melewati ruang tamu untuk pergi ke dapur, ia lebih dahulu menghampiri Abriel yang sedang mencatat.

"Kak, anu, itu si Gavriel panas," ucap Lavid.

Abriel berhenti mencatat dan menoleh ke arah Lavid yang berdiri di dekatnya.

Ia tidak membalas apapun tapi langsung berdiri dan pergi ke dapur. Ia kembali ke ruang tamu dengan membawa baskom berisi es batu dan handuk kecil.

Dia langsung berjalan menuju ke lantai atas untuk pergi ke kamar sang adik.

Ketika Lavid hendak mengikuti langkah Abriel, tiba-tiba tangannya ditahan oleh Elan.

"Eh, mau kemana lu? Gantiin Abriel buat nyatet."

"Lah kok gua?" protes Lavid tak terima.

"Biar cepet kelar elah, udah buruan. Biar Gavriel dia yang urus, lu pasti di sana cuma liatin doang, ujungnya si Abriel atau Agus yang ngompres."

"Si anjir, kalo nuduh kira-kira napa. Gavriel juga sahabat gue," misuh Lavid.

Akhirnya Lavid pasrah untuk menggantikan Abriel guna mencatat materi kerkom.

Abriel memasuki kamar sang adik dan melihatnya sedang memukuli pundah Agus sambil berkata, "Ayo keluar, ayo keluar, gak mau sama Kak Abriel."

Agus yang melihat kedatangan Abriel langsung menyingkir, bergeser untuk memberikan space bagi Abriel.

"Tiduran," suruh Abriel pada Gavriel.

"Hiks, Kak Abriel jangan marah ke Gavi, oke? Gavi gak nakal!"

"Iya, cepat tiduran."

Gavriel menurut dan beraring telentang. Abriel segera mengompresnya dan setelah itu mengelus kepala sang adik agar cepat tertidur.

Gavriel akan cepat tidur saat sakit, tentunya jika dalam keadaan nyaman. Setelah Gavriel benar-benar tertidur Abriel berhenti mengelus rambut adiknya.

"Jagain dia," ucap Gavriel sambil berdiri dan keluar dari kamar.

Dia kembali ke ruang tamu. Ternyata kerkomnya telah selesai.

Beberapa dari mereka pamit pulang, kecuali Elan.

"Gavriel gimana?" tanya Elan.

"Tidur," jawab Gavriel.

Ia melirik ke sofa panjang dan melihat Lavid yang tertidur. Dia kemudian mengambil selimut di atas karpet dan menggunakannya untuk menyelimuti Lavid.

Sekarang sudah jam 9 malam.

"Jangan lupa nanti jam 12," ucap Abriel sembari melirik sekilas pada Elan.

"Aman boss, yang lain juga udah ready," balas Elan sambil menepuk bahu Abriel.

Agus duduk di atas kasur untuk menjaga Gavriel. Tapi karena bosan ia pun turun dari atas kasur dan mendekati aquarium kecil berisi ikan buntal milik Gavriel.

Walau ia sering kesini tapi dia tak begitu memperhatikan detail setiap hal di kamar Gavriel.  Dia berpindah sampai di rak buku yang berisi beberapa novel dan buku sekolah.

Ia mengambil buku secara random untuk melihat judulnya, setelah itu ia mengembalikannya ke tempat semula.

"Lah ini si Lavid kok gak kesini dari tadi, apa udah balik?" gumam Agus ketika baru menyadari bawah dari tadi Lavid belum kembali ke kamar Gavriel.

Dia ingin keluar tapi Abriel sudah memintanya untuk menjaga Gavriel.

Sementara itu kini Abriel berada di dalam kamarnya. Ia membuka brankas yang tersembunyi di balik tembok.

Di dalam brankas itu ada berbagai macam senjata, yang ringan dan yang berat.

Dia mengambil sebuah pisau lipat kecil.

Pisau itu adalah barang favoritnya. Walau kecil tapi sangatlah tajam untuk memotong dan melukai.

"Kakak menyayangimu," gumam Abriel.

Orang yang tidak banyak tahu seluk-beluk kehidupan Abriel sama sekali tidak akan paham.

Ia sangat sayang dengan adiknya, Gavriel.

Tapi ia tidak akan bisa menjadi kakak yang dekat dan asik untuknya.

Ia adalah kakak yang dingin, posesif, dan protektif.

Berkali-kali Gavriel memancingnya agar bisa bercanda bersama, tapi justru berakhir dengan hal yang membuatnya Gavriel kesal kepadanya.

\
\
\

Kayaknya yg Ghali besok dlu up-nya, pemikiran gue udah ngelu. Up gue jg emang dikit-dikit, karena selain kesibukan juga otak gue lagi sering blank.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jul 20 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

2EL (Abriel-Gavriel)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang