23 | Terikat (2) :

4.4K 318 46
                                        

A/n : Repost yaa, di saya eror, gk bisa ditinjau

Jangan lupa tinggalkan jejak

Happy Reading 🌻😺

...

•    ť     ẹ     ŕ    ị     ķ     à    ț    •

[21/07/2024]

Ketika Aruna membuka mata, ia menemukan beberapa paper bag di meja. Kecurigannya muncul. Ia bergegas turun dari kasur dan mencari ponsel. Aruna sungguh tidak tahu waktu saat ini; pagi, siang, atau malam. Kamar ini sangat luas, tapi tidak memiliki jendela untuk melihat matahari.

Pukul satu siang. Aruna menemukan waktu usai membuka ponselnya. Ia harus merelakan kelasnya hari ini. Tapi tidak masalah, ia punya banyak alasan untuk menggantinya.

Aruna melangkah ke pintu, mencoba membukanya, dikunci. Ia menghela napas pelan. Mudah untuk menduga bahwa Giandra akan mengurungnya di sini.

Aruna beralih paper bag di meja. Sebagian berisi baju dan keperluan Aruna, sisanya buku-buku, alat lukis, dan untuk sarapannya---yang sebetulnya menjadi makan siang. Sepertinya Aruna akan di sini untuk beberapa hari ke depan. Ia mulai panik, Giandra sudah terang-terangan mengunci dan mengurungnya secara fisik.

Ia cukup terbiasa dengan segala batasan dan aturan yang ditetapkan Diwangkara. Aturan ketika berinteraksi, menjaga tingkah laku, selalu sopan dan santun, tata cara berjalan dengan anggun, bahkan tuntutan untuk menguasai segala pendidikan etik. Ia juga lebih banyak menurut dan menerima segala peraturan asal tetap diberi ruang untuk melakukan aktivitas biasanya.

Bentuk pengekangan secara fisik agak merepotkan. Aruna benar-benar merasa dikurung. Pandangan dan geraknya dibatasi oleh dinding-dinding, pintu terkunci, dan ia tidak bisa keluar. Detak jantungnya mulai berdetak lebih cepat, Aruna tidak tenang dalam kondisi seperti ini.

Berteriak atau menggedor pintu bukan gayanya. Giandra sepertinya pergi dan sengaja mengunci pintu agar ia tidak berkeliaran.

Usai merasa cukup tenang, Aruna memilih untuk membersihkan diri dan menikmati makan siangnya. Ia lantas mencoba menghubungi Giandra. Berharap semoga pemuda segera kembali.

Telepon tersambung. "Halo, Giandra. Kamu dimana?" Ada kepanikan dalam suaranya. Aruna tidak bohong, ia mulai merasa sesak dalam ruangan luas ini.

"Maaf ninggalin kamu sendirian, Tuan Putri." Suara berat Giandra tidak begitu terdengar akibat kebisingan di sekitarnya. "Dua jam lagi aku ke sana. Jangan lupa makan. Ada pancake strawberry kesukaan kamu. Okay, aku matiin."

Telepon dimatikan. Dan Aruna kembali merasa cemas. Ia tidak terbiasa terkurung dalam ruangan serba tertutup tanpa akses jendela dan matahari. Biasanya, ketika ia diharuskan untuk di rumah, keluarganya masih memberi akses untuk Aruna melukis di taman atau sekadar berjalan-jalan—asal ia tidak keluar area rumah. Batasan dan tuntutan yang Aruna terima lebih banyak ditujukan untuk menjaga nama baik Diwangkara.

Untungnya Giandra menepati ucapannya untuk tiba dua jam kemudian. Dan seperti sudah menjadi kebiasaan, begitu membuka pintu pemuda itu langsung merengkuh Aruna, memeluk erat dan mencium puncak kepala gadisnya.

"Aruna." Giandra memanggil tegas. "Balas."

Ia yang baru tersadar kontan membalas pelukan Giandra sebelum pemuda ini marah. Setidaknya pintu sudah terbuka dan Giandra bersamanya.

D I F F E R E N TTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang