PROLOG

17 6 0
                                    

Malam semakin larut, angin kencang terus bertiup menyelimuti seluruh kota. Langit sudah berwarna merah terang, menandakan bahwa akan turun hujan.

Petir menggelegar hebat, diikuti dengan kilatan cahaya yang menyinari seluruh kota.

Suasana yang benar-benar tidak menyenangkan.

Mungkin sebagian orang mengiranya begitu.

Tapi tidak dengan seorang pria yang berdiri di atas gedung sekolah 'Jaya Bangsa'.

Seorang pria yang memakai jaket berwarna hitam, dengan penutup kepala sehingga wajahnya pun tidak terlihat dengan jelas.

Pria itu menatap kosong ke arah bawah dari atap gedung sekolah, tepatnya rooftop.

Pria itu menatap kosong ke arah bawah dari atap gedung sekolah, tepatnya rooftop

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Ia tersenyum miring melihat pemandangan yang begitu mengerikan di bawah.

Pemandangan yang tidak akan pernah ia lupakan seumur hidup.

Di bawah sana, ada dua orang pria tergeletak tak bernyawa.

Darah kental terus-menerus keluar dari tubuh mereka berdua, bagaikan air sungai yang tak pernah berhenti mengalir.

Luka lebam di wajah serta beberapa tusukan di dada dan perut ada di sana.

Itu adalah pemandangan paling indah yang pernah pria itu lihat.

Petir kembali menggelegar, namun itu malah membuat senyumannya semakin melebar.

Dengan tangan yang berlumuran darah, serta lantai kotor dipenuhi bercak darah ada di sana.

Ia berkata dengan nada berat dan mengerikan, "Bahkan langit pun ikut memainkan perannya..."

Brak! Suara pintu rooftop yang tiba-tiba saja tertutup, terdengar begitu keras.

Sial!

Seseorang melihat aksi kejinya.

Pria itu langsung mengambil pisau yang tergeletak di bawah, dan langsung menuju pintu.

Untungnya, pintu rooftop itu tidak bisa dikunci karena rusak parah.

Sialnya, seseorang itu mungkin yang akan menjadi korban selanjutnya.

Pria itu langsung berlari mengejar orang tersebut.

Orang itu, seorang lelaki.

Yang terus berlari menuruni anak tangga sekolah.

Jantungnya berpacu dua kali lebih cepat. Keringat bahkan sudah membasahi seluruh tubuh dan wajahnya sebelum mulai berlari tadi.

Lelaki itu terus mengusahakan dirinya untuk terus berlari di koridor.

Suara pelariannya dengan pria itu menggema di lorong koridor.

Suasana sangat gelap dan sepi saat itu, tidak ada lampu penerangan sama sekali. Apalagi cuaca di luar benar-benar tidak mendukung.

Raga Yang MenemanikuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang