1. Panti asuhan

184 27 0
                                    

"Taufan! Jangan mengganggu Sora yang sedang belajar!"

"Tapi aku hanya bertanya."

"Setidaknya jangan membuat Sora terganggu! Dia adalah kebanggaan panti, kau bahkan tidak berguna untuk panti."

"Taufan masih kecil, kenapa dibandingkan dengan Sora yang sudah berumur 13 tahun?"

"Anak kecil sepertimu mana tahu! Pergi sana!!"

Pemilik dari mata biru, Taufan. Hanya menatap kosong mereka semua dengan senyuman yang ada di wajahnya. Ini sudah biasa bagi Taufan, mereka tidak mengharapkannya, mereka tidak mau Taufan ada.

Taufan tidak masalah dengan hal itu, karena dia juga tidak mengharapkan apapun kepada mereka semua.

Lagipula, Taufan hanya menganggap mereka sebagai mainannya saja. Taufan hanya ingin bersenang-senang, tidak peduli yang dia mainkan manusia ataupun bukan.

Taufan hanya tau kesenangan.

Hari itu, cuaca cerah di panti asuhan. Namun, suasana hati anak-anak di dalamnya tampak sebaliknya. Mereka berkumpul di ruang belajar, berusaha fokus pada pelajaran yang diajarkan Sora. Namun, perhatian mereka teralihkan oleh Taufan yang tengah bermain sendirian di sudut ruangan, tertawa riang sambil melemparkan mainan ke langit.

"Taufan! Jangan mengganggu Sora yang sedang belajar!" teriak salah satu anak dengan frustasi.

"Tapi aku hanya bertanya," jawab Taufan, suaranya ceria dan tidak mengindahkan cercaan teman-temannya.

"Setidaknya jangan membuat Sora terganggu! Dia adalah kebanggaan panti, kau bahkan tidak berguna untuk panti," anak itu melanjutkan, penuh amarah.

Taufan hanya tersenyum, matanya yang biru bersinar dengan kepolosan yang tulus. "Tapi aku ingin bermain!" jawabnya dengan nada ceria.

"Anak kecil sepertimu mana tahu! Pergi sana!!" seru yang lain dengan nada sinis.

Sora, yang duduk di meja depan, terlihat gelisah. Meski cerdas, ia merasakan tekanan dari teman-temannya. Taufan tidak peduli. Baginya, semua itu hanyalah bagian dari permainan. Dia tidak mengharapkan apa pun dari mereka, karena hidupnya dipenuhi dengan cara pandang yang berbeda.

Dengan langkah santai, Taufan beranjak menuju halaman belakang panti asuhan. Di sana, dia menemukan sebuah batu besar yang menarik perhatian. "Ayo kita lihat seberapa jauh aku bisa melempar batu ini!" teriaknya, menantang diri sendiri.

Saat Taufan mengangkat batu itu, anak-anak lain mengikuti dengan rasa ingin tahu. "Taufan, jangan! Itu berbahaya!" teriak Sora dari jauh.

Tetapi Taufan tidak mendengarkan. Dalam sekejap, kekuatan yang mengalir dalam dirinya mulai bangkit. Energi mengelilinginya, mengubah batu itu menjadi bersinar dengan cahaya yang mencolok. "Lihat, aku bisa membuatnya terbang!" dia berteriak sambil melempar batu itu ke udara.

Batu itu melesat seperti peluru, meninggalkan jejak cahaya di langit. Anak-anak lain menatap dengan mata terbelalak, campuran rasa takut dan kagum. "Apa yang terjadi? Kenapa dia bisa melakukannya?" bisik mereka satu sama lain.

Taufan tertawa geli melihat reaksi mereka. "Ayo, itu hanya permainan!" Namun, saat batu itu jatuh, keheningan menggantung di udara. Ketika batu itu mendarat, seluruh halaman bergetar, dan debu beterbangan.

Semua anak di panti asuhan mundur, ketakutan. Taufan hanya berdiri di tengah kekacauan, tersenyum lebar, merasakan kesenangan yang luar biasa.

"Jadi, siapa yang ingin bermain lagi?" Taufan bertanya, suaranya penuh semangat, tetapi kini disambut dengan ketakutan.

Di sisi lain, Nezu yang sedang menuju ke suatu tempat melihat kajadian itu. Dia  memerintah sopirnya untuk ke pamnti asuhan terlebih dahulu.

Setelah pertemuan yang menggembirakan dengan Nezu, Taufan mulai menjalani kehidupan baru di U.A. High School. Nezu, yang telah menjadi pengganti orang tua Taufan, memperlakukannya dengan penuh kasih sayang. Dalam satu tahun setelah diadopsi, Taufan belajar banyak hal.

Di usia 4 tahun, Taufan diperkenalkan pada berbagai konsep tentang quirk dan cara mengendalikannya. Nezu mengajarinya cara memahami kekuatan uniknya, yang bisa mengendalikan energi dan memanipulasi objek. "Setiap kekuatan memiliki tanggung jawab. Kamu harus belajar mengendalikannya dengan baik," kata Nezu dengan bijak.

Taufan, yang penuh semangat, berlatih setiap hari. Dia menjadi semakin mahir, dapat mengangkat benda berat dan mengubah bentuk energi menjadi berbagai bentuk yang menyenangkan.

Di usia 14 tahun, Taufan telah tumbuh menjadi pemuda yang kuat dan percaya diri. Dia memiliki banyak teman dan pengalaman berharga yang membentuknya menjadi pribadi yang lebih baik. Di bawah bimbingan Nezu, Taufan tidak hanya belajar tentang kekuatan fisik, tetapi juga tentang cara menjadi pemimpin.

"Sekarang, kamu sudah siap untuk ujian masuk UA," kata Nezu dengan bangga. "Ingat, tidak hanya kekuatanmu yang menentukan keberhasilanmu, tetapi juga hati dan kepribadianmu."

Taufan tersenyum, merasa siap menghadapi tantangan baru. Dengan teman-teman di sisinya, dia tahu bahwa apapun yang terjadi, mereka akan menghadapi dunia bersama.

"Namaku Taufan, dan ini baru permulaan petualanganku!" serunya, semangat membara di dalam hatinya.

Taufan sudah berteman dengan Todoroki, Bakugo dan Midoriya. Mereka lumayan akrab, apalagi sekarang mereka satu sekolah.

Taufan resmi menjadi siswa di U.A. High School. Di kelas barunya, dia berkenalan dengan berbagai siswa berbakat. Taufan merasa bersemangat untuk belajar dari mereka semua dan meningkatkan kemampuannya.

Guru kelas mereka, Aizawa, menekankan pentingnya disiplin dan dedikasi. “Kalian semua adalah yang terbaik di antara yang terbaik. Tetapi, ingatlah bahwa menjadi pahlawan bukan hanya soal kekuatan. Ini tentang karakter dan tanggung jawab,” ujarnya dengan tegas.

Taufan menyimak dengan seksama, menyadari bahwa ia masih banyak yang perlu dipelajari. Dia bersikeras untuk belajar dan berlatih setiap hari. Dia juga membantu teman-temannya ketika mereka mengalami kesulitan, menciptakan ikatan yang lebih kuat di antara mereka.

Characteristic [BNHA]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang