2

109 19 4
                                    

Samuel beserta adik-adiknya, memulai membuka bungkusan nasi yang telah dibelikan oleh Zidan. Hingga sang bungsu terlihat girang. "Wah! Ada ayam goreng." seruan sang bungsu terlihat dari kedua matanya yang tengah berbinar.

"Kamu benar, Yoga. Disini juga ada ikan lele goreng kesukaanku." sahut seorang anak lainnya, yang tak kalah girang.

Sesekali Samuel menatap satu per satu adik-adiknya, dengan matanya berkaca-kaca. Antara bahagia, terharu, senang, menangis, bersyukur telah menjadi satu. Bahagia, karena dia dan adik-adiknya bisa menikmati makan makanan dengan lauk pauk yang belum pernah mereka rasakan sebelumnya, Samuel sungguh bersyukur untuk itu. Terharu, karena melihat adik-adiknya yang begitu makan dengan lahap. Senang, bisa melihat wajah adik-adiknya yang begitu terlihat antusias. Menangis, karena merasa khawatir jika adik-adiknya tidak bisa menikmati makanan enak dan lezat suatu saat nanti.

Lalu, matanya tak sengaja menatap Zidan yang sedang mengamati dirinya dan adik-adiknya dengan senyuman tipis.

"Zidan, kamu tidak ingin makan?" tanya Samuel pada akhirnya, sambil menawarkan nasi bungkus miliknya dihadapan Zidan. Zidan menggelengkan kepalanya.

"Makanlah! Aku sudah kenyang tadi waktu masih disekolah. Kamu yang harus makan. Lihatlah wajahmu pucat." jawaban Zidan membuat Samuel terdiam.

"Baiklah, terima kasih." sahut Samuel. Lalu, menikmati makan bersama adik-adiknya.

"Zidan, apakah kita akan disini terus? Huh! Kapan kita akan pulang?" tanya Cakra yang sepertinya ingin merasa mual. Karena, tidak tahan dengan bau sekitarnya.

Zidan melirik sekilas kearah Cakra. Lalu, bersuara, "Samuel, kamu dan adik-adikmu tetaplah menunggu disini dulu, ya. Nanti aku kembali lagi. Okay-" Zidan menjeda ucapannya sejenak, lalu menunjuk ke arah Cakra, "Temanku ingin pergi ke toilet umum. Katanya mau buang air besar. Jadi, aku harus mengantarkannya, dia takut sendirian soalnya atau malah berujung tersesat."

Ucapan Zidan, membuat Cakra melototkan matanya tak percaya, apa-apaan itu Zidan? Mana ucapannya terdengar sangat enteng. Begitu pikirnya.

"Iya, kak. Kita tetap disini kok. Toh, kita tidak punya rumah. Lagipula, kita juga tidak akan kabur kemanapun. Kalau misal kita pergi, yang ada nanti kita tersesat terus diculik sama om-om. Iihh... aku tidak mau diculik lagi." bukan Samuel yang menjawab, melainkan bungsu pertama. Yang tak lain ialah Rafli Antony Rachman. Rafli menjawab dengan tatapan polos, seraya menyendokan nasi ke dalam mulut mungil.

Zidan dan Cakra terdiam sesaat, setelah mendengar ucapan dari anak kecil itu.

"Baiklah. Kalian tetap disini. Hanya sebentar. Okay." ucap Zidan pada akhirnya. Setelah mendapatkan respon dari Samuel. Tanpa aba-aba Zidan menarik tangan kanan Cakra dan pergi dari sana.

Sampai ditempat yang lumayan sepi. Terlihat Zidan melepaskan tangan Cakra. Dan Cakra mengernyit tak suka.

"Kamu itu kenapa sih, Cakra? Kenapa juga kamu tadi tidak langsung pulang saja?" cecar Zidan yang sudah terlihat gereget dan lelah sekaligus, dengan sikap Cakra.

Cakra memutar bola matanya malas. Lalu, kedua tangannya bersedekap diatas dadanya.

"Seharusnya aku yang mengatakan itu. Mengapa juga kamu harus membantu mereka dan peduli dengannya? Hingga kamu rela membelikan makanan untuk mereka dengan uangmu sendiri. Apakah kamu tidak takut dengan kejadian masa lampau itu akan terulang kembali?" sungut Cakra.

Ya, Cakra merasa sedikit kesal dengan sikap Zidan yang terlampau baik, bahkan dengan sukarela membantu orang-orang yang hidup dipinggir jalan hingga mendapatkan tempat tinggal seperti asrama. Maksud Zidan memang baik, akan tetapi sangat mudah untuk dimanfaatkan oleh orang-orang tak tahu diri, yang dulu pernah dibantu oleh Zidan.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Aug 24 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

RAINBOWTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang