.
.
.
.
.
.
Dewa—atau apapun yang menginterupsi istirahatnya saat ini benar-benar misterius.
Muncul begitu saja tanpa adanya hawa keberadaan yang dapat dirasakan membuat Aamon kebingungan.
Aamon bisa saja memilih untuk langsung menyerang orang asing ini, namun mengingat keadaannya sekarang, sudah jelas ia tidak bisa bertindak gegabah.
Ia mundur beberapa langkah ketika sosok itu meloncat turun dari dahan yang didudukinya. Tidak ada hawa membunuh pada sang sosok penginterupsi—yang mana membuat Aamon kian meningkatkan kewaspadaannya.
"Siapa kau?" Aamon bertanya, dengan nada penuh rasa curiga dalam suaranya.
Wajah yang sebelumnya tidak dapat Aamon lihat dengan jelas itu kini disinari oleh cahaya bulan, membuat Aamon mampu melihat wajah sosok asing itu. Nampaknya, orang yang berdiri di depannya ini adalah seorang dewa. Bagaimana pahatan wajahnya terlihat seperti tidak nyata—seolah lukisan dari surga diberi mantra untuk hidup, membuat Aamon terkesima untuk sesaat. Namun Aamon dengan cepat tersadarkan.
"Kamu terluka," sosok asing itu berbicara, suaranya bergema di dalam kepala Aamon. "Biarkan aku mengobatimu—"
Tangan sang penginterupsi sudah terulur untuk memberi bantuan, namun dengan cepat Aamon menepis dan melompat ke belakang untuk menghindar. Ia mengabaikan rasa sakit yang dirasakan dari bekas lukanya.
"Jangan mendekat!" serunya, memberi peringatan pada sosok asing tersebut.
Pun, ucapannya tidak digubris. Sekali pun sudah diberi larangan, sosok tersebut tetap berjalan mendekat dengan penuh ketenangan. Seolah larangan Aamon hanyalah angin semata.
Sial, apa yang orang ini inginkan?
Bersikap aneh dan tiba-tiba saja ingin menolong?
Aamon mana mungkin menyerang duluan dengan kondisinya yang seperti ini; kehabisan mana juga energi untuk bertarung, ia tidak akan mati konyol dalam keadaan seperti ini.
Tidak akan.
"Sudah ku katakan jangan mendekat—"
Angin berembus kencang disaat yang bersamaan Aamon mengucapkan kalimat itu, dan disaat yang bersamaan juga sosok asing tersebut bergerak cepat ke samping dengan tangan kiri yang siap menyerang.
Aamon terlalu lambat untuk menyadari, sehingga ia tak sempat menghindar. Rasa sakit luar biasa menyambar pada bagian tengkuk lehernya. Tubuh Aamon dibuat tak dapat bergerak; membeku, pandangannya juga turut berbayang. Tubuh yang tidak bertenaga perlahan goyah.
"Maaf..." sosok itu bergumam, mencoba menangkap tubuh Aamon yang mulai limbung akibat kehilangan kesadaran. "Aku perlu mengobatimu, Aamon."
Dan Aamon pun kehilangan kesadarannya, tepat disaat sosok tersebut menangkap tubuhnya.
.
.
.
"Milord, membawa orang ini ke tempat persembunyian kita adalah sebuah kesalahan!"
"Oh, Diggie, membantu seseorang yang terluka tidak akan menjadi sebuah masalah besar."
"T-tapi, Milord—!"
Ucapan Diggie dihentikan oleh sang tuan, manakala tuan-nya itu berjalan mendekati kasur di tengah ruangan. Terdapat seseorang yang tengah tertidur pulas di atasnya. Tuan-nya itu hanya berdiri menatap wajah empunya yang tertidur selama beberapa detik tanpa melakukan apa-apa.
Diggie menggelengkan kepala burung hantu-nya, merasa tidak menerima pada pilihan yang majikannya buat dengan memilih untuk membawa Aamon ke tempat persembunyian mereka berdua.
"Aamon Paxley, Milord. Orang itu adalah buronan tiga dunia," ungkap Diggie, mencoba menyadarkan sang tuan dengan kenyataan bahwa orang yang saat ini tertidur di atas kasur tuan-nya itu adalah salah satu orang yang berbahaya bagi tiga dunia. "Jikalau Her majesty tahu soal ini, a-anda akan—"
Tuan-nya itu menolehkan kepala, menatap Diggie melalui bahunya. Tatapan sendu terlihat pada manik biru langit miliknya. "Aku tahu, Diggie..." sang tuan menjawab. "Maka dari itu, tolong bantulah aku untuk yang terakhir kalinya..."
Pada kalimat sang tuan terdengar nada memohon, yang membuat Diggie merasakan perasaan bimbang. Sejatinya ia diciptakan untuk selalu patuh pada aturan yang dibuat oleh para dewa. Namun, di sisi lain, dirinya juga merupakan satu-satunya pelayan kepercayaan sang tuan. Dan Diggie sendiri tidak ingin mengecewakan majikannya.
Astaga, mungkin ini akan menjadi yang pertama dan terakhir kalinya Diggie membangkang dan membiarkan tuan-nya melakukan apa yang harusnya dilakukan.
Diggie memilih mengalah, sayap burung hantunya mengepak menandai bahwa dirinya setuju. "Baiklah, Milord. Saya berdoa agar kali ini... baik anda dan Aamon Paxley dapat menemukan kebahagiaan."
Tuan-nya itu memberikan sebuah senyuman teduh, mengangguk halus sebelum kembali menatap Aamon yang masih belum memberikan tanda akan bangun cepat atau lambat.
Melihat bagaimana sang tuan nampak menginginkan waktu sendiri, membuat Diggie memilih untuk mengundurkan diri; menghargai waktu yang diinginkan sang majikan.
Kini, di dalam ruangan itu, hanya terdapat dua makhluk immortal; yang sedang tidak sadarkan diri, dan yang sedang tenggelam dalam rasa rindu yang teramat. Aamon dan—
"Natan—aku harap kamu masih mengingat namaku, sama seperti di kehidupan sebelumnya, Aamon."
= To be continued =
kau memang yang terbaik man 👍
KAMU SEDANG MEMBACA
'Till Death Do Us Part | Aamon X Natan
Fanfiction[Vessel of Deceit X Tidal Lord] Di bawah temaram rembulan, di antara rimbunnya pepohonan, Aamon menemukan sebuah alasan bagi dirinya untuk tidak menjual jiwanya pada sang dewa Iblis. Untuk pertama kalinya, Aamon kembali merasakan... perasaan. Denyut...