.
.
.
.
.
.
Lembayung senja melukis cakrawala. Kemilau jingga terbentang di langit. Burung-burung beterbangan untuk kembali ke sarang mereka; untuk kembali pulang. Bayang-bayang pepohonan menyembunyikan kediaman sang dewa yang tersembunyi di tengah hutan.
Tembok tinggi mengelilingi bangunan tua di tengahnya. Akar tanaman merambat memeluk dinding-dinding yang entah sudah berapa lama berdiri melindungi kediaman Natan. Pohon-pohon di sekitar tumbuh menjulang menutupi bangunan tersebut dari pandangan langit; dari cahaya matahari, atau dari pengawasan para dewa di atas sana. Kediaman Natan di dunia mortal seolah sengaja dibuat untuk menyembunyikan keberadaannya.
Halaman luas yang tersembunyi di balik tembok dialasi dengan rerumputan hijau. Bebatuan alam disusun untuk membuat jalan setapak yang mengarah ke sebuah taman kecil. Berbagai macam bunga menghiasi, mewarnai halaman itu dengan warnanya. Namun, bunga yang paling mendominasi di taman kecil tersebut ialah sekumpulan bunga Forget me not. Bunga kecil yang tumbuh berkelompok, dengan rupa bundar dan kelopaknya yang lembut. Berwarna biru, dengan bagian tengahnya yang berwarna kuning, menjadi pemanis tambahan bagi siapa pun yang memandang.
Diggie—pelayan setia dari Natan, merapalkan mantra untuk menggerakkan alat penyiram tanaman miliknya. Begitu mudahnya Diggie bekerja, tanpa perlu bergerak ke sana kemari. Menikmati waktu sore harinya dengan menyirami bunga sang majikan. Sementara tuannya itu sedang menghabiskan waktu dengan seseorang.
Burung hantu itu mencebik kesal, membayangkan sang majikan yang membuang waktu berharganya sebagai dewa demi seorang pendosa.
.
Suara aliran sungai berpadu dengan kicauan burung di waktu senja. Semilir angin lembut menyapu dedaunan hijau di pohon, membuat suara gemerisik yang khas.
Aamon duduk di pinggiran sungai, dengan menjadikan tunggul pohon tua sebagai tempat untuk beristirahat. Manik gold-nya tak pernah melepaskan pandangan dari sang dewa yang berdiri di tengah-tengah sungai; menapakkan kakinya pada permukaan air, seolah air di bawahnya merupakan tanah yang biasa dipijak. Perlahan-lahan air sungai di bawahnya mulai naik, membentuk gumpalan berwujud seekor ular yang mengitari tubuh sang dewa.
Melihat pemandangan semacam itu membuat Aamon sulit untuk tidak menatap. Barang sedetik pun Aamon tak pernah melarikan pandangannya ke arah lain. Terlalu memusatkan perhatiannya pada Natan.
Sang dewa yang merasa sudah diperhatikan selama beberapa waktu, mengeluarkan sebuah tawa kecil. "Kamu sudah menatapku selama sepuluh menit, Aamon," ujar Natan, memberi jeda beberapa detik. "Sebelas, sekarang." lanjutnya.
Kenyataan bahwa dirinya sudah tertangkap basah tidak membuat Aamon mengalihkan pandangannya. Justru, ia terus melanjutkan menatap Natan sekali pun empunya yang ditatap sudah menggelengkan kepalanya.
"Sebenarnya apa yang sedang kau lakukan?" hingga Aamon tiba-tiba berbicara, membuat Natan terkesiap. Air yang mengitari tubuhnya nampak terhubung dengan perasaan yang saat ini Natan rasakan, terlihat bagaimana gumpalan air berbentuk seperti ular itu bergetar sesaat.
Natan tidak langsung memberikan jawaban, sengaja membiarkan pertanyaan Aamon menggantung. Ia hanya memberikan tatapan yang tak jelas artinya pada Aamon, dan membiarkan air yang berbentuk seperti ular itu terus mengitari tubuhnya.
Aamon terus menunggu, tidak ada niatan untuk dirinya berbicara sebelum Natan memberikan jawabannya.
Hingga beberapa saat setelahnya, Natan mulai membuka belah bibirnya, memberi jawaban, "Aku perlu melakukan sesuatu untuk menetralisir mana berlebih di tubuhku," ungkap Natan, matanya terpejam, menyembunyikan kedua manik emerald miliknya.
KAMU SEDANG MEMBACA
'Till Death Do Us Part | Aamon X Natan
Fanfiction[Vessel of Deceit X Tidal Lord] Di bawah temaram rembulan, di antara rimbunnya pepohonan, Aamon menemukan sebuah alasan bagi dirinya untuk tidak menjual jiwanya pada sang dewa Iblis. Untuk pertama kalinya, Aamon kembali merasakan... perasaan. Denyut...