3

108 17 5
                                    

Jimin.

"Jimin." Suaranya serak.

Aku mengerutkan kening, mataku masih terpejam.

“Jimin. Ya Tuhan, singkirkan penis-mu dari punggungku.”

Mataku terbuka lebar. “Apa?”

Aku memeluk Yeorin dari belakang. Tanganku berada di antara payudaranya yang telanjang, dan penisku yang tegak didorong dengan kuat ke punggung bawahnya.

“Sial.” Aku merangkak ke sisi tempat tidurku. “Maaf. Ini sudah pagi…”

Aku tergagap saat menyisir rambutku dengan tanganku.

“Hmm.” Dia menggerutu sebelum tertidur lagi.

Aku memejamkan mata karena ngeri.

Aku bangun, pergi ke kamar mandi, lalu kembali berbaring di sisi tempat tidurku, berbaring sangat dekat dengan tepian. Aku menatapnya seolah dia binatang buas, karena saat ini, bagiku, dia memang binatang buas.

Ini adalah hal yang tidak ku ketahui. Ini belum pernah terjadi sebelumnya.

Mengapa ini terjadi sekarang?

“Hmm.” Dia mendorong pantatnya ke arahku.

Aku tetap diam.

Dia melakukannya lagi.

“Jimin, peluk aku,” gumamnya sambil mengantuk.

Sial.

Aku menariknya mendekat dan memeluknya erat saat rasa takut memenuhi jiwaku.

Dan ini bukan tentang penisku pagi ini; hal buruk itu terjadi. Ini tentang tadi malam.

Melihat Yeorin telanjang...

Bermasturbasi dengan melihatnya...

Aku menutup mataku dengan jijik pada diriku sendiri, dan rasa malu yang tak tertahankan memenuhi mulutku.

Persahabatan kita istimewa. Apa yang kita miliki bersama itu sempurna. Penisku tidak termasuk dalam persamaan ini, dan tidak akan pernah. Aku tidak akan membiarkannya.

Aku tidak bisa berbaring di sampingnya lebih lama lagi. Aku duduk di sisi tempat tidur dan menyisir rambutku dengan tanganku. Keringat membasahi kulitku.

Aku mengerutkan kening saat mencoba memahami apa yang kurasakan, tetapi aku tidak bisa karena aku tidak memahaminya. Sepuluh tahun tanpa apa-apa.

Kenapa sekarang?

Ada jawaban yang masuk akal untuk semua ini, pasti ada, dan tentunya ini hanya kesalahpahaman. Jika saja aku bisa menguraikan apa yang terjadi di kepalaku.

Siapa yang bisa menyelesaikan ini untukku?

Aku berpikir sejenak.

Ya, tentu saja, itu dia!

Aku mengerti.

.
.
.

Tiga jam kemudian, aku duduk di ruang tunggu salah satu psikolog terbaik di Daegok. Siku ku bertumpu pada lutut ku yang terbuka saat aku menunggu.

Aku berjuang melawan detak jantung yang tidak teratur, dan saraf mengalir melalui pembuluh darah. Aku belum pernah ke psikolog sebelumnya — tidak pernah membutuhkannya.

Mata ku menjelajahi orang-orang di ruang tunggu saat aku bertanya-tanya mengapa mereka ada di sini.

Aku yakin aku lebih kacau daripada mereka semua.

Pintu kantor terbuka dan seorang pria muncul. "Choi Jimin-ssi?"

Aku berdiri. "Ya."

"Silakan lewat sini."

Our WayTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang