Prolog-3: Limbo

5 3 1
                                    

Tsubaki memandang semua itu, tanpa bisa berbuat apa-apa.

Seketika saat kepala gadis itu terbentur ke atas tanah, di dalam kepala Tsubaki mulai dipenuhi dengan banyak hal.

Semua memori, semua kenangan. Entah itu semua adalah hal yang menyenangkan atau malah lebih banyak hal yang menyedihkan.

Ah, ya. Benar. Itu diriku.

Semua yang kulihat ini adalah hari terakhir aku hidup.

Semua yang kulihat ini adalah penderitaanku.

Semua yang kulihat ini adalah masa laluku.

Dunia yang dilihatnya perlahan berubah dan kini menghilang menjadi ruangan hitam. Gelap. Tidak ada siapa-siapa. Tidak ada apapun. Kosong melompong dan hanya ada dirinya sendiri berdiri di dalamnya.

Gadis itu adalah Tsubaki dan Tsubaki adalah diriku. Gadis itu adalah diriku di masa lalu.

Aku melakukan itu karena aku sudah menyerah akan hidup.

Aku melakukan itu karena semua orang tidak menginginkanku hidup.

Aku melakukan itu, jatuh dan terjun ke bawah karena aku tidak pantas untuk hidup.

Ah, kenapa aku melupakan semua itu?

Seketika dia kehilangan tumpuan pada kakinya, terjatuh di atas lantai yang bahkan tidak terlihat warnanya. Semua beban terasa diangkat ketika Tsubaki menyadari bahwa dia sendiri sudah tiada.

Perasaan lega disadarinya ketika dia menghela napas panjang.

Ternyata seperti ini yang namanya kematian.

Begitu sepi, namun terasa damai.

Kosong, namun terasa nyaman.

Kalau sejak awal aku mengetahuinya, mungkin semua hal itu tidak akan terjadi.

Kalau aku tahu bahwa kematian seperti ini begitu menenangkan, aku tak perlu menyakiti diriku dan orang lain lagi.

Tsubaki duduk memeluk lututnya, terisak diam dalam tangisnya.

Kalau begitu, kenapa hatiku sakit?

Kenapa aku menangis?

Bukankah ini yang kumau?

Apakah ini hukuman?

Sebenarnya apa yang terjadi pada diriku?

"Ternyata kau sudah ingat?"

Tsubaki yang semula menunduk kini mengangkat kepalanya menghadap ke depan. Di depan matanya, sosok gadis yang tadi dilihatnya berdiri dengan tubuhnya yang tidak memakai busana. Itu dirinya. Tubuhnya penuh luka lebam. Beberapa sayatan ada di lengannya, namun yang paling menarik perhatian adalah darah yang mengalir dari kepalanya. Tangannya yang sudah dilumuri oleh darah segar menyentuh pipi Tsubaki dengan lembut, meninggalkan jejak tangannya yang bewarna darah saat tangan itu lepas darinya.

"Kenapa kau bersedih?" Gadis itu berbicara padanya. "Bukankah ini keinginan kita? Bukankah ini kebahagiaan kita?"

Saat Tsubaki berkedip, wujud gadis yang mirip dengannya itu mengecil menjadi wujud dirinya sendiri saat masih berumur sepuluh. Gadis itu nampak ceria, namun tidak ada tanda kehidupan di sorot matanya.

"Tidak ada gunanya untuk menyesal sekarang, ya kan?"

Tawa gelak terdengar di telinga Tsubaki. Entah pria atau wanita, anak-anak atau dewasa. Beberapa dari suara itu menyambutnya, memberi ucapan selamat. Bayang-bayangan hitam merangkak keluar dari lantai hitam tempat di mana Tsubaki meringkuk.  Mereka mendekati Tsubaki, mengulurkan tangan mereka. Takut, Tsubaki berdiri dan mundur perlahan.

Ikutlah bersama kami, Tsubaki...

Hal yang kau inginkan sudah menunggumu...

Tangan-tangan dari bayangan juga menjulur dari bawahnya, menggenggam kaki Tsubaki dan mencoba menariknya ke bawah dasar lumpur hitam tepat di bawah kakinya.

Tidak ada gunanya untuk menyesalkan semuanya...

Semua ini demi dirimu dan mereka yang kau tinggal...

Itu yang kau inginkan, bukan?

Tsubaki mencoba berteriak, namun tidak ada suara yang keluar dari tenggorokannya. Tangan itu meraih kakinya, ingin menelan Tsubaki ke dasar lumpur. Tsubaki mencoba melarikan diri, namun kakinya tersandung karena salah satu dari tangan itu berhasil menggenggam kakinya.

Tidak ada yang perlu dikhawatirkan.

Tidak ada yang perlu kau tangisi...

Semuanya sudah berakhir. Inilah akhir yang selalu kau impikan.

Tsubaki terus berteriak tanpa suara, tubuhnya menggeliat berusaha melarikan diri. Namun semua usahanya tidak berhasil, berakhir di telan oleh kegelapan.

Di dalam kegelapan, Tsubaki merenung.

Ah, padahal aku tahu bahwa ini adalah hasil dari keinginanku.

Padahal aku tahu semua ini adalah keegoisanku.

Kenapa aku menolak? Kenapa aku melawan?

Apa yang sebenarnya aku inginkan? Apa yang sebenarnya aku mau?

Tsubaki pun menyerah. Dirinya sudah tida sanggup untuk melarikan diri ataupun melepaskan diri dari kegelapan. Dia sudah tidak sanggup memikirkan apapun lagi.  Terdengar suara-suara di telinganya; menertawakannya, mengoloknya, memarahinya, maupun membisikkan kebohongan. Tapi Tsubaki sudah tidak peduli lagi. Dia sudah berada di dalam ketenangannya sendiri. Tanpa siapapun, tanpa ada apapun.

Sekilas dihadapannya saat memejamkan mata, cahaya kecil yang hangat mendekati dirinya.

~o~O~o~

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jul 31 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

The Flower Witch : A Story About The Second ChanceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang