Satu

5 0 0
                                    

Saranghae neol I neukkim idaero
Geuryeo watdeon haemae ime kkeut
I sesang sogeseo banbokdweneun
Seulpeum ijen annyeong

Suara nyaring yang memekakkan telinga itu menggema di sepenjuru ruangan gelap dengan pencahayaan satu-satunya berasal dari lampu disko yang memancarkan warna-warna norak. Penyumbang-penyumbang suara itu tengah asyik menyanyikan lagu Into The New World yang liriknya terpampang pada layar tv di ruangan sempit tempat kuberada saat ini. Kami biasa menyebut kegiatan ini dengan istilah 'karaoke', akan tetapi, di negara ini, para lokal menyebutnya dengan istilah 'noraebang'.

Aku memang sedang tidak tinggal di negara sendiri. Sudah sekitar tiga bulan sejak pertama kali aku menjejakkan kaki di negara gingseng ini untuk menempuh pendidikan selama satu semester.

Hari ini, aku dan teman-teman sesama exchange student telah berhasil menyelesaikan program kerja yang sudah lama kami rencanakan sejak masih dalam masa persiapan keberangkatan ke Korea Selatan di tanah air kami. Mengikuti kebiasaan orang Korsel yang merayakan keberhasilannya dengan meminum soju bersama atau berkaraoke, kami pun memutuskan untuk mencoba perayaan itu juga dan memilih salah satunya menggunakan sistem voting. Pilihan terbesar pun jatuh kepada karaoke.

Sejujurnya, aku sudah lelah. Setelah seharian menjadi ketua pelaksana yang mengawasi berjalannya program kerja kami yang berbentuk acara, aku sudah tidak ada tenaga lagi untuk bernyanyi. Alhasil, dari lagu pertama hingga yang saat ini sedang diputar, aku hanya duduk dan memainkan tamborin, dengan upaya tetap membantu memeriahkan suasana. Sesekali aku juga mengecek jam pada layar ponselku yang menunjukkan hari sudah semakin larut.

Drrrtt ... drrttt ....

Getaran itu berasal dari ponsel yang kuletakkan di atas meja di hadapanku.  Layarnya menampilkan panggilan dari kontak dengan nama "Mama". Ada apa Mama meneleponku malam-malam begini?

Aku berpamitan dengan teman-temanku untuk menerima panggilan tersebut. Setelah keluar dari noraebang, aku menelusuri kanan-kiri jalanan, mencari tempat yang sepi supaya aku bisa mendengar suara Mama dengan jelas. Syukurlah, tidak jauh noraebang ini, ada sebuah gang kecil yang berfungsi sebagai gudang atau tempat pembuangan di antara toko-toko yang berjejeran dengan noraebang tempatku berkaraoke. Aku memutuskan untuk berjalan memasuki gang kecil itu. Akan tetapi, sesampainya aku di sana, panggilan tersebut sudah berhenti.

'Aku terlalu lama mengangkatnya.' Batinku sedikit kesal.

Aku mengetuk tombol panggilan pada kontak Mamaku untuk meneleponnya kembali. Ponsel kuangkat dan kuarahkan pada telinga sembari menunggu panggilan itu terjawab. Mataku yang tak lagi melihat ke layar ponsel, kini kugunakan untuk menjelajahi gang kecil tempatku berdiri.

Aku berdiri tidak terlalu masuk ke dalam gang yang sempit dan gelap ini, sehingga sebelah kananku masih sedikit terkena pencahayaan dari lampu jalanan. Di seberangku, terdapat barang-barang rongsok yang sepertinya milik toko dengan pintu karyawan yang berada di sebelah kanan sekitar 2 meter dari rongsokan tersebut. Saat pandanganku jatuh pada pintu karyawan itu, tanpa sengaja ekor mataku ikut menangkap sesosok pria yang tengah bersandar di ujung gang. Tunggu ... sesosok pria?

Pandanganku kini seutuhnya kuarahkan pada sosok pria yang berdiri di ujung gang ini. Sial, seberapapun aku berusaha mengernyitkan dahiku, menyipitkan pandanganku, tetap saja aku tidak bisa menangkap sosok itu dengan jelas, meskipun terasa familiar. Selain karena pencahayaan yang remang-remang, aku juga memiliki masalah rabun jauh.

Sedikit yang bisa kutangkap adalah, sosok tersebut memakai baju berwarna hitam dengan celana berwarna senada. Lengannya disilangkan di depan dadanya. Tangan kanannya seperti berulang kali bergerak dari wajahnya dan sedikit menjauh dari wajahnya. Asap keabuan menyembul beriringan setiap kali tangannya menjauhi wajahnya.

A Taste of Fame | Kim Mingyu (SMUT) [COMPLETED]Where stories live. Discover now