2

377 7 0
                                    

Ini gila. Benar-benar gila.

"Mbak..." bisik pria itu lagi. Tangannya, masih tersembunyi di balik gamisku, mulai bergerak naik,  perlahan-lahan mendekati dadaku.

Aku harus menghentikannya.

Harus.

Tapi... tubuhku terasa lemas. Lututku gemetar. Dan yang lebih parah lagi... aku tidak ingin dia berhenti. Sentuhannya,  semeski baru sebatas di kulit perutku, sudah membuatku merasakan kenikmatan yang tak pernah terbayangkan sebelumnya.

"Enghh..."  lenguhku tanpa sadar, saat ujung jarinya tak sengaja menyentuh tepi bra-ku.

Rasanya seperti  tersetrum.

"Maaf... maaf..." bisiknya lagi, meskipun  suaranya terdengar lebih  parau,  menandakan  kalau dia pun  terbawa  suasana.

Dan untuk pertama kalinya sejak pertemuan  singkat kami  di  bus  ini, aku  memberanikan  diri  untuk menoleh ke belakang,  mencari  wajah  pria  yang telah  membuatku  melupakan  siapa  diriku.

Dia...  tampan. Lebih tampan  dari  yang  kuduga. Dengan  rahang  tegas,  hidung  mancung, dan  rambut  yang sedikit  berantakan,  ia  terlihat sexy, terutama  saat  ini,  ketika  ia  menatapku  dengan  sorot  mata kelaparan yang  membuat seluruh tubuhku panas-dingin.

"Kamu..." Aku  tersengal,  tak tahu harus  berkata  apa.

"Kamu  wangi  banget,  Mbak..." bisiknya,  mengulangi  pujian-pujian  yang  sebenarnya  biasa  saja, tapi  entah  kenapa,  terdengar  begitu  menggoda    saat  diucapkan   olehnya.

"Mas..." desisku, napas kami berdua sama-sama memburu.

Pandangan kami bertemu untuk ke sekian kalinya.

Dan pada saat itu juga, aku tahu...

Tak ada lagi jalan kembali.

"Mas...  Aku..."

Dan  sebelum  aku  sempat menyelesaikan kata-kataku,  bus  Transjakarta  kembali  berhenti  mendadak,  membuat  tubuhku  terhuyung  ke  belakang,  tepat  ke  dalam  pelukannya.

Dan  kali  ini,   ia tak  segan  menyambutku.

Tangannya  melingkar  erat  di  pinggangku,  menarikku  merapat ke  dadanya.  Bibirnya  menemukan  telingaku,  dan  ia  berbisik,  suaranya  serak  dan  berat,  penuh  dengan  hasrat  yang  terpendam.

"Lanjut?"

Jantungku berdebar  kencang.

Aku tahu  ini  salah.

Tapi...  rasanya...  begitu  benar.

Dan  dengan  suara  lirih,  hampir  tak  terdengar,

Aku membalas  bisikannya.

"Lanjut..."

Bus yang bergoyang-goyang seiring jalanan Jakarta yang tak ramah, kini terasa seperti ayunan pengantar dosa. Aku merapat padanya, merasakan napas pria itu memburu. Jari-jarinya tak lagi malu-malu, kini menari-nari di atas kain tipis braku, menekan-menekan dengan insting buas yang menggetarkan sekaligus menakutkan.

Rasa bersalah masih menggerogoti, tercampur dengan gelombang nikmat yang tak pernah kutemukan dalam doa-doa panjangku di sepertiga malam.

"Mas...," desisku lagi, tapi bukan untuk menolak. Melainkan untuk memastikan. Memastikan bahwa ini nyata, bahwa aku, Saskia yang selalu menjaga diri, kini membiarkan seorang pria asing menjelajahi tubuhku di balik gamis longgar ini.

Suatu Pagi di Bus KotaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang