Jari-jarinya, yang tadinya hanya mengagumi renda unguku dari balik gamis, kini bergerak lebih berani. Menyingkirkan tali bra dengan satu gerakan cepat, membuatku tersentak.
"Mas..." desisku, berusaha terdengar protes. Tapi, entah kenapa, suaraku justru terdengar seperti rengekan manja.
Pria itu tak menjawab. Ia hanya tersenyum, sebuah seringai yang memadukan nafsu dan kemenangan. Jari telunjuk dan ibu jarinya kini menemukan sasaran baru: putingku yang telah mengeras, menunggu untuk disentuh.
Dan saat sentuhan itu terjadi... dunia serasa berhenti berputar.
Kugigit bibir kuat-kuat, menahan desahan yang ingin meledak. Sensasi dari sentuhannya begitu asing, begitu intens, membuatku melayang jauh dari keramaian bus yang panas dan sumpek ini.
Dia memainkannya dengan ahli, kadang memilinnya perlahan, kadang menjentiknya manja, membuat gelombang kenikmatan menjalar dari dadaku, menjalar ke seluruh tubuh. Aku tak bisa berpikir jernih lagi.
Hanya ada dia. Sentuhannya dan sensasi panas yang kian membakar di antara kedua kakiku.
"Kamu suka ya...?" bisiknya di telingaku, suaranya terdengar serak, menegangkan.
Aku hanya bisa mengangguk kecil, malu untuk mengakui dengan kata-kata. Namun tubuhku tak bisa berbohong. Puntung payudaraku semakin mengeras di bawah permainan jemarinya, menginginkan lebih.
Dan seolah bisa membaca pikiran, ia pun memberikan apa yang kuinginkan.
Kecepatan gerakannya bertambah. Jari-jarinya menari-nari di atas putingku, membuatku memekik kecil. Kugigit bibir lebih kuat, takut jika suara-suara aneh lolos dari balik bibirku.
"Sssttt...." bisiknya, namun bukan teguran yang kuterima. Melainkan ciuman lembut di belakang telingaku yang terhalang jilbab.
"Jangan ditahan... biarkan suaramu keluar..."
Kalimat itu, diucapkan dengan suara rendah yang penuh godaan, berhasil meruntuhkan semua pertahananku.
Dan untuk pertama kalinya dalam hidupku...
Aku mengerang.
Erangan kenikmatan yang tak pernah kuketahui bisa kuteriakkan.
Erangan itu seakan menjadi kunci yang membuka pintu menuju dunia lain. Dunia di mana norma dan kepatutan tak lagi berkuasa. Dunia di mana yang ada hanyalah panas, sentuhan, dan rasa nikmat yang tak pernah kujumpai sebelumnya.
"Lagi..." bisiknya, napasnya membuatku semakin gila.
Dan aku? Aku hanya bisa menurut.
Kepalaku terkulai lemas di bahunya, menyerah total pada permainan liar yang ia ciptakan. Jari-jemarinya, yang terasa begitu panas di kulitku, terus bergerak, meninggalkan jejak kenikmatan di setiap incinya.
Bus bergoyang, mengiringi gerakan tubuhku yang kini bergerak tak sadar, mencari gesekan yang lebih dalam. Aku tak peduli lagi di mana aku berada, tak peduli jika ada yang melihat, tak peduli jika dunia tahu rahasiaku.
Yang kuinginkan hanya... lebih.
"Kamu cantik," bisiknya di telingaku, suaranya serak penuh pujian.
Puji-pujian itu, yang mungkin biasa saja di telinga wanita lain, terdengar begitu indah di telingaku. Terlebih lagi dalam kondisi seperti ini, di mana logika dan akal sehatku telah lama menguap bersama desahan demi desahan yang lolos dari bibirku.
"Boleh aku sentuh kamu lagi?" tanyanya.
Pertanyaan retoris. Pertanyaan yang sudah pasti tahu jawabannya.
Dan benar saja, tak menunggu jawaban verbal dariku, tangannya bergerak turun. Menyelinap perlahan ke balik celana panjangku.
"Mas..." lirihku, suaraku kini hanya sebatas bisikan tak berdaya.
Bukan penolakan. Melainkan undangan.
Undangan untuk menyentuhku lebih jauh. Menjelajahi 'aku' yang lain. 'Aku' yang selama ini tersembunyi rapi di balik lapisan pakaian dan topeng keteraturanku.
Dan ia menerimanya.
Ujung jarinya, dengan gerakan hati-hati namun penuh tekad, menyentuhku di balik lapisan celana dalamku. Persis di tempat yang berdenyut-denyut, merindukan sentuhan. Sentuhan yang selama ini hanya kurasakan samar-samar dalam mimpi.
"Ya Tuhan..." desahku lirih, suaraku tercekat di tenggorokanku sendiri.
Rasanya begitu asing, begitu intens. Sentuhannya seperti percikan api di atas tumpukan jerami kering, membakar setiap akal sehat yang kusesakan di dalam diri. Aku tak terbiasa disentuh seperti ini, namun entah kenapa, tubuhku merespon dengan jujur.
"Enak?" bisiknya, suaranya serak, penuh hasrat tertahan.
Aku hanya bisa mengangguk, tak sanggup lagi merangkai kata. Tubuhku menegang saat ia mulai memainkan 'daerah terlarang' itu dengan jari-jemarinya. Mengusap, menekan, menggodaku dengan gerakan perlahan yang justru terasa begitu menyiksa.
Keinginanku semakin membuncah, menuntut untuk dipenuhi. Dan, untuk pertama kalinya dalam hidupku, aku sadar...
Aku menginginkannya.
Aku menginginkan pria asing ini.
Di dalam bus ang penuh sesak, di tengah-tengah hiruk pikuk manusia yang tak menyadari drama tersembunyi ini. Rasanya begitu salah, begitu tabu, namun justru di situlah letak kenikmatannya.
"Kamu basah..." bisiknya lagi, napasnya semakin memburu.
Jari-jarinya bergerak semakin berani, menembus masuk ke dalam celana dalamku, mencari pusat kenikmatanku. Dan saat ia menemukannya...
"Aahhh..."
Pekikan tertahan lolos dari bibirku.
Dunia berputar semakin cepat, dan aku... aku membiarkan diriku jatuh ke dalam pusaran nikmat yang ia ciptakan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Suatu Pagi di Bus Kota
Short StorySaskia dikenal sebagai wanita muda yang ramah, sopan, dan baik hati. Namun tak ada yang tahu bahwa di dalam hatinya ia menyimpan hasrat dan rasa penasaran yang besar. Masalahnya, dorongan itu muncul ketika ia sedang berdesakan di bus kota ... bersam...