3

351 7 0
                                    

Jari-jarinya, yang tadinya hanya mengagumi renda unguku dari balik gamis, kini bergerak lebih berani. Menyingkirkan tali bra dengan satu gerakan cepat, membuatku tersentak.

"Mas..." desisku, berusaha terdengar protes. Tapi, entah kenapa, suaraku justru terdengar seperti rengekan manja.

Pria itu tak menjawab. Ia hanya tersenyum,  sebuah seringai yang memadukan  nafsu  dan  kemenangan. Jari telunjuk dan ibu jarinya kini menemukan sasaran baru: putingku yang telah mengeras,  menunggu  untuk  disentuh.

Dan saat sentuhan itu terjadi...  dunia  serasa  berhenti  berputar.

Kugigit bibir  kuat-kuat,  menahan  desahan  yang  ingin  meledak. Sensasi dari sentuhannya begitu asing, begitu  intens, membuatku melayang  jauh dari keramaian bus yang  panas dan sumpek ini.

Dia memainkannya dengan  ahli, kadang memilinnya perlahan, kadang menjentiknya manja, membuat gelombang  kenikmatan menjalar dari dadaku, menjalar ke seluruh tubuh. Aku tak bisa berpikir jernih lagi.

Hanya ada dia. Sentuhannya dan sensasi panas yang kian membakar di antara kedua kakiku.

"Kamu suka ya...?" bisiknya di telingaku, suaranya terdengar serak, menegangkan.

Aku hanya bisa  mengangguk  kecil,  malu  untuk  mengakui  dengan  kata-kata.  Namun  tubuhku  tak  bisa  berbohong. Puntung payudaraku semakin mengeras di bawah  permainan  jemarinya, menginginkan lebih.

Dan seolah bisa membaca pikiran, ia pun memberikan apa yang kuinginkan.

Kecepatan  gerakannya  bertambah.  Jari-jarinya  menari-nari  di  atas  putingku,  membuatku  memekik  kecil.  Kugigit  bibir  lebih  kuat,  takut  jika  suara-suara  aneh  lolos  dari  balik  bibirku.

"Sssttt...."  bisiknya,  namun  bukan  teguran  yang  kuterima.  Melainkan  ciuman  lembut  di  belakang  telingaku yang terhalang jilbab.

"Jangan  ditahan...  biarkan  suaramu  keluar..."

Kalimat  itu,  diucapkan dengan suara rendah yang  penuh godaan, berhasil meruntuhkan semua pertahananku.

Dan untuk pertama kalinya dalam hidupku...

Aku mengerang.

Erangan  kenikmatan  yang  tak  pernah  kuketahui  bisa  kuteriakkan.

Erangan itu seakan menjadi kunci yang membuka pintu menuju dunia lain. Dunia di mana norma dan kepatutan tak lagi berkuasa. Dunia di mana yang ada hanyalah panas, sentuhan, dan rasa nikmat yang tak pernah kujumpai sebelumnya.

"Lagi..." bisiknya, napasnya membuatku semakin gila.

Dan aku? Aku hanya bisa menurut.

Kepalaku terkulai  lemas  di bahunya,  menyerah  total pada  permainan  liar yang ia ciptakan.  Jari-jemarinya,  yang  terasa begitu  panas  di kulitku,  terus bergerak,  meninggalkan jejak  kenikmatan  di  setiap  incinya.

Bus  bergoyang,  mengiringi  gerakan  tubuhku  yang  kini  bergerak  tak  sadar, mencari  gesekan  yang  lebih  dalam.  Aku tak  peduli  lagi  di  mana  aku berada,  tak  peduli  jika  ada  yang  melihat,  tak  peduli  jika  dunia  tahu  rahasiaku.

Yang kuinginkan hanya... lebih.

"Kamu  cantik,"  bisiknya di telingaku, suaranya serak penuh pujian.

Puji-pujian  itu,  yang  mungkin  biasa  saja  di  telinga  wanita  lain,  terdengar  begitu  indah  di  telingaku.   Terlebih  lagi  dalam  kondisi  seperti  ini,  di  mana  logika  dan  akal  sehatku  telah  lama  menguap  bersama  desahan  demi  desahan  yang  lolos  dari  bibirku.

"Boleh  aku  sentuh  kamu  lagi?"  tanyanya.

Pertanyaan retoris. Pertanyaan yang sudah pasti tahu jawabannya.

Dan  benar  saja,  tak  menunggu  jawaban  verbal  dariku,  tangannya  bergerak  turun.  Menyelinap  perlahan  ke balik celana  panjangku.

"Mas..."  lirihku, suaraku kini hanya sebatas bisikan tak berdaya.

Bukan  penolakan. Melainkan undangan.

Undangan  untuk  menyentuhku  lebih  jauh.  Menjelajahi  'aku'  yang  lain.  'Aku'  yang  selama  ini  tersembunyi  rapi  di  balik  lapisan  pakaian  dan  topeng  keteraturanku.

Dan ia menerimanya.

Ujung jarinya, dengan gerakan hati-hati namun penuh tekad, menyentuhku di balik lapisan celana dalamku. Persis di tempat yang berdenyut-denyut, merindukan sentuhan. Sentuhan yang selama ini hanya kurasakan samar-samar dalam mimpi.

"Ya Tuhan..." desahku lirih, suaraku tercekat di tenggorokanku sendiri.

Rasanya begitu asing, begitu intens. Sentuhannya seperti percikan api di atas tumpukan jerami kering, membakar setiap akal sehat yang kusesakan di dalam diri.  Aku tak terbiasa disentuh seperti ini, namun entah kenapa, tubuhku merespon dengan jujur.

"Enak?" bisiknya, suaranya serak, penuh hasrat tertahan.

Aku hanya bisa mengangguk, tak sanggup lagi merangkai kata.  Tubuhku menegang saat ia mulai memainkan 'daerah terlarang' itu dengan jari-jemarinya. Mengusap, menekan, menggodaku dengan gerakan  perlahan yang justru terasa begitu menyiksa.

Keinginanku semakin membuncah, menuntut untuk dipenuhi. Dan, untuk pertama kalinya dalam hidupku, aku sadar...

Aku menginginkannya.

Aku menginginkan pria asing ini.

Di dalam bus ang  penuh sesak, di tengah-tengah hiruk pikuk manusia yang tak menyadari drama tersembunyi ini. Rasanya begitu salah, begitu tabu, namun justru di situlah letak kenikmatannya.

"Kamu basah..." bisiknya lagi, napasnya semakin memburu.

Jari-jarinya bergerak semakin berani, menembus masuk ke dalam celana dalamku, mencari  pusat kenikmatanku. Dan saat ia menemukannya...

"Aahhh..."

Pekikan tertahan lolos dari bibirku.

Dunia berputar semakin cepat, dan aku... aku membiarkan diriku jatuh ke dalam pusaran nikmat yang ia ciptakan.

Suatu Pagi di Bus KotaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang