Nirankara 5

124 9 3
                                    

Pagi menjemput, Niran bangun dengan wajahnya yang bersemu. Ia mengingat ciuman Esa sebelum tidur, ciuman pertama untuknya dan ternyata sememabukkan itu. Niran memang tidak pernah berpacaran, karena dia tidak punya waktu yang namanya pacaran, ia terlalu ambis mengejar nilai.

Pernah satu kali menyukai laki-laki saat dirinya di bangku SMA, namun ia dikhianati oleh sahabatnya sendiri dengan berpacaran dengan orang yang dia suka. Dan saat itu Niran sangat sakit hati, menangis setiap hari dan membuat nilainya anjlok, setelah itu dirinya tidak mau mencoba-coba untuk jatuh cinta lagi, apalagi untuk berpacaran, padahal laki-laki yang mendekati Niran itu begitu antri.

Hanya satu laki-laki yang membuat Niran kembali merasakan getaran di dadanya, yaitu Jaesa Naratama Kalingga. Pria yang terpaut lima tahun di atasnya, rekan kerja ayahnya dan pembawaannya yang dewasa, satu kali bertemu Niran sudah langsung jatuh hati, apalagi Esa selalu memberikan perhatian lebih dan muncul tepat ketika dirinya terpuruk karena kehilangan ibunya.

Dengan tubuh yang Niran rasakan sakit sekujurnya akibat dikeroyok semalam, Niran memaksakan diri bangun dan keluar dari kamar Esa. Jalannya tertatih-tatih, ternyata efeknya lebih terasa setelah dipukuli dari pada ketika dipukul saat itu juga.

Dilihatnya Esa sedang memasak, Niran kembali tersenyum langsung membayangkan jika nanti sudah jadi suami istri, pasti setiap hari begitu indah. Yah, begitulah isi pikiran orang yang dibutakan cinta.

Menyadari kehadiran Niran, Esa segera berbalik dan tersenyum. Ia mematikan kompornya karena memang yang dia masak sudah matang. Lalu menghampiri Niran yang jalannya tertatih-tatih.

Mata Esa tertuju ke arah bibir Niran yang semalam ia sentuh begitu manis, sudut bibir itu terdapat luka yang mengering dan pipinya tembam sebelah plus luka lebam yang besar.

Tanpa ambil diam, Esa langsung menangkup sebelah pipi yang mengembung itu. “Ini sakit?” tanyanya.

Niran diam dan merasakannya, lalu ia mengangguk. Niran ingat semalam pipi yang ini ditampar dan ditonjok berkali-kali daripada pipi satunya lagi.

“Kamu mau apain perempuan-perempuan yang udah bully kamu itu? Kamu laporin?”

“Biar ayah aja yang ngatasin, biar tu cewek-cewek kapok udah cari masalah sama aku. Tau kan seberpengaruh apa ayah? Ayah gak akan tinggal diam kalo tau anaknya disakitin.”

Deg~

Entah, Esa langsung menciut mendengar penuturan Niran tentang ayahnya itu. Apakah dirinya akan kena dampaknya jika menolak perjodohan ini? Apalagi Esa sudah memberikan harapan besar pada Niran, bisa-bisa ayahnya langsung turun tangan menghabisinya.

“Semalam ...,” ujar Niran malu-malu, yang langsung membuat Esa tak tenang.

“Semalam ciuman pertamaku,” lanjutnya. “Aku seneng yang ambil bukan sembarang orang, tapi calon suamiku sendiri.”

Mati kutu Esa sekarang, Niran gadis baik-baik, menjaga dirinya dengan baik. Tapi bisa-bisanya Esa mengambil ciuman pertama Niran tanpa ada arti untuk dirinya sendiri, dengan kata lain tanpa perasaan khusus untuk gadis itu.

“Jadi ke dokter sekarang?” tanya Niran tiba-tiba berganti topik, ia malu kenapa harus membicarakan yang terjadi tadi malam.

“Oh iya, tapi nanti jam makan siang bisa? Aku harus ke kantor dulu.”

Niran mengangguk senang. “Iya siang gapapa kok.”

Ponsel Esa tiba-tiba berbunyi, dilihatnya sang papa yang menelpon. Pria itu berjalan ke arah jendela dan mengangkatnya.

“Esa, apa Niran sama kamu?” tanya papanya di sebrang sana.

“Iya Niran sama aku, kenapa, Pa?”

Papanya tertawa menggelegar begitu bahagia. “Bagus, anak pintar! Ternyata kamu lebih dari yang Papa pikirkan.”

Esa mendesis, ia baru menyadari satu hal dan itu memang fatal. Di antara mereka sama sekali tidak ada yang mengabari Wira ayahnya Niran bahwa Niran tengah bersamanya, bahwa Niran aman.

“Lanjutkan, Boy. Selamat bersenang-senang,” tutup pria paruh baya itu terdengar begitu semangat.

Esa mencengkeram ponselnya kuat dan begitu berbalik ia terkejut mendapati Niran di belakangnya.

“Papa kamu?” tanyanya dengan wajah polosnya.

Esa mengangguk dan tersenyum tipis, Niran ini memang cantik, lucu pula karena wajahnya tampak babyface dan wajahnya yang ceria. Sebagai pria normal Esa berpikir hal yang mudah untuk laki-laki manapun jatuh cinta pada seorang Niran, semalam saja ia langsung khilap ketika berhadapan dengan gadis itu dan mencuri ciuman pertamanya. Namun demikian, meski dirinya mengakui tetapi ia tetap menolak karena di hidupnya sudah ada Selina.

***

Sehabis dari rumah sakit Niran mengajak Esa menuju makam mendiang ibunya. Ia berjalan dibantu Esa karena memang keadaannya yang babak belur.

Kaca mata hitam itu menutupi genangan air di mata indahnya, sudah satu tahun kepergian ibunya dan ia masih merasakan kehilangan. Saat ini saja Niran tidak mampu berkata-kata karena tenggorokannya terlalu berat untuk bersuara, hanya sesak di dada sambil mengelus batu nisan yang terdapat nama ibundanya itu.

Hati Esa terenyuh melihat Niran hanya diam tak bersuara, ia masih ingat bagaimana histerisnya Niran ketika itu.

Esa yang awalnya berdiri kini duduk dan mengelus pelan kepala belakang gadis itu. Hatinya mengatakan dia ingin melindungi dan membahagiakan gadis itu entah dengan dasar apa. Esa dan Niran sama-sama anak tunggal, mungkin karena itulah mereka selama ini bisa langsung nyambung dan dekat.

“Ma, sekarang Niran udah ada yang jagain, Mama gak usah khawatir lagi, ya? Niran bahagia di sini,” lirih Niran akhirnya dengan suara yang bergetar menahan tangis. Dan lama kelamaan Niran terisak juga.

Esa benar-benar tidak tega, ia yang tengah mengusap kepala Niran itu langsung menariknya ke dalam pelukan hangatnya, membiarkan Niran menangis di dadanya.

”Jadi pengganti mamaku ya, Sa? Jadi pelindung buatku?” lirihnya tersendat-sendat.

Tak ada pilihan, Esa langsung mengangguk mengiyakan, tanpa ia sadari bahwa dirinya telah memberikan harapan yang begitu besar pada Niran.

“Mama tenang aja, ya? Esa ini orangnya sangat baik, ayah aja selalu memuji Esa, Esa orang yang tepat buatku.”

Hati Esa benar-benar mencelos, jika dia jujur saat ini rasanya akan sangat jahat, karena jelas-jelas Nirankara tengah terluka saat ini. Akhirnya ia hanya diam namun hatinya merutuki dirinya sendiri.

***

Beberapa hari berlalu, luka Niran mulai sembuh dan tanggal pertunangan sudah ditetapkan tanpa bertanya pada Niran ataupun Esa terlebih dulu. Orang tua Esa begitu semangat yang menggebu tentang perjodohan itu karena yang paling diuntungkan memang pihak Esa.

Esa sendiri frustrasi saat ini, ia masih belum membicarakan penolakannya pada Niran dengan alasan tidak tega dan kondisi gadis itu. Begitupun pada Selina, pria itu belum membicarakan apa pun perihal masalahnya, Esa cinta mati pada Selina apalagi selama ini Selina tidak pernah membuat kesalahan.

Dan untuk menghilangkan penatnya, Esa malah mengajak Selina berkencan, entah ini yang terakhir kalinya atau bukan, yang pasti saat ini Esa ingin menunjukkan bahwa dirinya begitu mencintai Selina. Padahal beberapa hari lagi ia akan bertunangan dengan Nirankara. Kemungkinannya, Esa akan meninggalkan Selina tanpa kata.

Mereka berdua benar-benar bersenang-senang hari ini, dari pagi sampai malam berjalan-jalan ke sana ke sini layaknya remaja yang baru jatuh cinta. Tanpa Selina tahu bahwa ini bisa saja menjadi hari terakhir mereka.

Berkali-kali Esa mendaratkan kecupannya di bibir Selina, dan seringnya mencuri ciuman. Esa benar-benar tidak rela jika harus mengakhiri kisah mereka dan meninggalkan Selina.

Di sisi lain, Niran yang ternyata ada di mall yang sama tanpa disadari berjalan di belakang Esa.

tbc

Nirankara Jaesa [21+]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang