Nirankara 6

155 11 2
                                    

Berkali-kali Esa mendaratkan kecupannya di bibir Selina, dan seringnya mencuri ciuman. Esa benar-benar tidak rela jika harus mengakhiri kisah mereka dan meninggalkan Selina.

Di sisi lain, Niran yang ternyata ada di mall yang sama tanpa disadari berjalan di belakang Esa bersama temannya.

“Ya udah gue pulang duluan, ya?” ujar Gista temannya itu pamit pada Niran karena kekasihnya sudah menjemput.

Niran mengerucutkan bibir sepeninggalnya Gista, mungkin secepatnya dia juga harus pulang. Namun begitu berbalik dan hendak melangkah dia terkejut ketika melihat seseorang yang sangat dia kenali dari kejauhan. Iya, dia Jaesa.

Dengan mata berbinarnya Niran mengejar begitu semangat ingin memastikan bahwa dia tidak salah melihat.

“Es ... sa.” Suara Niran tercekat di tenggorokan, karena apa yang dia lihat benar-benar membuatnya syok dan sangat menyakitkan untuknya.

Matanya langsung berkaca-kaca melihat pria yang sangat dia cintai tengah bermesraan dengan perempuan lain, bahkan Niran tak pernah melihat tatapan Esa yang menatapnya penuh damba seperti saat ini menatap perempuan itu. Niran belum pernah ditatap seperti itu.

Hati Niran semakin tertusuk ribuan jarum tak kasat mata ketika melihat Esa mengecup bibir si wanita dan wanita itu memukul-mukulnya gemas. Air matanya tumpah seketika, merasa dikhianati dan ditipu habis-habisan.

Detik kemudian Esa yang terkejut melihat Niran tak jauh darinya memandanginya yang penuh luka.

“Niran?” gumamnya panik, lalu ia juga melirik Selina takut Selina juga marah.

“Dari pagi aku hubungin kamu gak aktif-aktif, ternyata kamu sibuk sama cewek lain,” ujar Niran tercekat.

Niran ingin mengamuk saat ini, bahkan rasanya ingin menampar Selina dan menjauhkannya dari Esa karena tubuh mereka begitu menempel, bahkan pegangan tangan mereka tak terlepas, Niran benar-benar cemburu.

“Sa, siapa dia?” Selina mulai curiga dan menatap tajam Esa.

Esa gelagapan, benar-benar takut salah bicara dan takut melukai keduanya.

“Sa, jujur sama dia aku siapa kamu?” ujar Niran begitu berani, karena jelas Niran ini calon istri Esa yang sudah sangat disetujui orangtua Esa sendiri.

“Esa, kamu selingkuh?” Kini Selina melepaskan genggaman tangan mereka dan meminta penjelasan.

“Na, dengerin aku dulu, ya?” Esa panik dan mencoba meraih tangan Selina kembali namun Selina langsung menepisnya.

“Esa!” panggil Niran karena tak terima Esa tampak lebih mementingkan Selina.

“Bilang sama dia aku siapa kamu!” pekik Niran. Ia benar-benar tidak mau peduli wanita itu siapanya Esa namun yang ia mau si wanita mengetahui tentangnya si calon istri.

“Aku kecewa sama kamu, Sa!” ujar Selina dengan wajah memerahnya, bahkan matanya sudah menggenang.

“Nggak, Sayang. Denger dulu,” pinta Esa langsung menggenggam tangan Selina lagi.

Niran hancur saat ini juga, harga dirinya benar-benar runtuh diabaikan oleh Esa demi wanita lain. Dan panggilan sayang Esa pada Selina kembali menghunus tajam di hatinya.

Jika sudah begini, Esa harus jujur sejujur-jujurnya, pada Selina maupun Nirankara.

“Niran, sekarang kamu udah tahu, aku udah punya wanita lain. Aku minta maaf.”

“Jahat kamu, Esa! Jahat!” teriak Niran menggelegar bahkan menyita perhatian pengunjung lain.

“Kenapa baru bilang sekarang? Kenapa gak tolak dari awal? Kenapa kasih aku harapan lebih? Kenapa harus cium aku dulu seolah-olah kamu gak masalah dan menerima perjodohan kita?!” teriaknya dengan mata menyala penuh amarah.

“Aku benar-benar minta maaf, sekarang karena kamu sudah tahu kenyataannya, gak mungkin kan kita tetap melanjutkan?”

Sudah kepalang basah. Esa akan memperjuangkan kebahagiaannya sendiri sekarang ini.

“Brengsek! Brengsek kamu Jaesa!” Niran kalap, jiwanya yang ambis benar-benar tidak terima diperlakukan seperti ini, apalagi sebelumnya dia tidak pernah berpacaran.

Niran menghampiri Jaesa dan menamparnya bolak-balik, Selina yang tidak terima Esa dilukai ia membalas tamparan Niran lebih kencang lagi. Mata Esa membulat melihat Selina menampar Niran karena di pipi Niran masih terlihat bekas pukulan waktu itu, memarnya masih ada.

Niran memegangi pipinya yang terasa panas itu, amarahnya semakin tersulut, berani sekali perempuan ini menamparnya?

“Sa, kamu gak lupa kan gimana nasib cewek-cewek yang udah bully aku waktu itu pas ayahku tau?” tanyanya melirik Selina sinis.

Ketiga perempuan yang membully dan memukuli Niran waktu itu nyatanya kini keluarga mereka memohon-mohon pada Niran dan ayahnya untuk tidak menarik bisnis yang tengah mereka jalani, bahkan satu di antaranya dipecat dan tak mempunyai pekerjaan lagi. Satu lagi, ketiga perempuan itu mendapatkan balasan berupa penyiksaan dari orang suruhan ayah Niran.

Esa mendesis, tidak mungkin ia harus mempertaruhkan Selina untuk kebahagiaan mereka.

Niran mengusap air matanya kasar. Padahal baru kemarin dia membanggakan Esa di depan makam ibunya, dan sekarang langsung menerima sakit dari pria itu.

Gadis itu menghela napas dalamnya dan berkata, “Oke, terserah kalo tidak mau melanjutkan, aku gak akan pernah mengemis satu kalipun. Satu yang pasti jangan pernah berani muncul di depanku,” desis Niran langsung berbalik dengan derai air mata yang terus bercucuran tanpa henti, membuatnya menjadi pusat perhatian setiap orang yang berpapasan dengannya.

Rupanya mereka belum memulai apa pun, tapi sakitnya terlalu dalam, karena Niran sudah begitu lama menaruh hati pada Esa. Dan kejadian ini sama persis seperti dia jatuh cinta saat pertama kali di bangku sekolah dulu, orang yang dia suka dan dia incar diambil orang lain.

.

Tangisan Niran tidak berhenti, sampai ia masuk rumah dan sama sekali tak menyadari kehadiran ayahnya yang duduk di sofa. Tujuan Niran adalah kamarnya untuk meluapkan segala rasa sakitnya.

Wira sang ayah tidak mau bertanya apapun, justru ia mencarinya sendiri apa penyebabnya. Sampai ia mendengar Niran berteriak menyebut-nyebut nama Esa, menunjukkan bahwa penyebabnya memang Esa, yang menyakiti Niran adalah Esa.

Dan yang dilakukan Wira adalah langsung menemui Esa secara empat mata. Tidak boleh ada satupun orang yang menyakiti putri semata wayangnya, atau dia habis di tangannya.

“Pilihan di tanganmu, Jaesa. Silakan membatalkan pertunangan yang segalanya sudah siap. Silakan tinggalkan Niran. Tapi perusahaanmu bergantung padaku, kamu tidak lupa kan 75% saham di perusahaanmu adalah milikku?”

Esa langsung mengepalkan tangannya diam-diam.

“Hutang keluargamu padaku juga tidak menembus 25% saham yang kalian miliki.”

“Pak Wira ini ingin anaknya bahagia, kan? Kenapa tetap kekeh untuk menjodohkan saya dengan anak Bapak? Pak Wira mau saya memberikan kepalsuan? Berpura-pura mencintai Nirankara? Kenapa tidak mencari laki-laki yang lebih baik dari saya?”

Rahang Wira langsung mengeras, ia langsung mencengkeram kerah kemeja Jaesa. “Saya tidak minta untuk kamu berpura-pura, saya minta kamu sungguh-sungguh mencintainya.”

“Saya tidak takut jadi gelandangan, Pak,” ujar Esa dengan santainya.

“Ya sudah kalo memang kamu ingin melihat kedua orang tuamu menderita, lakukanlah.”

“Dan sangat kecil untuk menyingkirkan Selina dan keluarganya.”

“Jangan bawa-bawa Selina!” teriak Jaesa mendorong Wira dengan berani.

Brug~

Wira langsung menonjok Esa begitu keras, ia sudah mati-matian menahan untuk tidak main tangan, tapi Esa benar-benar membuat tangannya gatal.

tbc

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Aug 07 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Nirankara Jaesa [21+]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang