Noon

6 1 2
                                    

-Aku tidak tahu siapa orang hebat itu, orang yang mampu merapikan hati yang hancur dan berantakan-

-Noon

Surai itu dibiarkan terbawa angin ke sana kemari, sesekali jari kelingkingnya dibawa untuk menyelipkan ke belakang telinga gadis yang sedang asyik bermain gelembung air. Netra hitam pekat itu tidak menatap selain kepada gadis di sampingnya, sudut bibir tertarik ke atas begitu saja, bagai pelangi setelah hujan.

“Cantik,” ucapnya perlahan.

“Aku tahu.” Si gadis berbaju putih itu angkat bicara tanpa menoleh.
‘Tapi kamu tidak tahu isi hatiku, Noon.’

Noora Saenda, gadis 20 tahun yang hobi menulis dan melukis, tumbuh dengan banyak kasih sayang dari kedua orang tuanya, kerabat, dan teman. Namun, siapa sangka gadis ceria itu bisa berubah menjadi seorang yang tertutup setelah luka yang tergores di hatinya, sejak SMA menjalin hubungan dengan seseorang yang nyatanya orang tersebut menciptakan luka begitu dalam pada dasar hati Noora.

“Sa, dadaku sesak kembali.” Lagi-lagi Noora mengadu kepada temannya.
“Duduk, minum air putih, tarik napas perlahan.”

Gadis yang semula berbaring itu perlahan bangkit dari rebahannya, jemari lentik Noora meraih gelas di meja samping tempat tidur, tiga tegukan kecil mampu membuat Noora merasa bengah, dia bersandar pada kepala tempat tidur, memeluk boneka kecil kuning kesayangannya.

“Sudah, Sa. Aku boleh rebahan lagi, ya?”

“Iya, sebaiknya tidur sekarang, Noon,” suara itu begitu lembut terdengar di dendang telinga Noora.

“Aku sedang membaca.”

Wajah yang sedikit pucat namun terlihat cantik tiba-tiba cemberut, ayolah ini masih jam 22.05 WIB, bagaimana gadis itu bisa tidur?
“Bukankah sesak? Ada cerita apa hari ini?” Satya bersuara, dia yakin kalau gadis itu tengah merajuk karena disuruh tidur.

“Tidak ada cerita.”

“Noon, semalam aku menangis, lalu perutku lapar.” Mendengar itu sontak Noora tertawa, tetapi tidak terdengar oleh lawan bicaranya sebab membekap mulut dengan telapak tangan.

“Benarkah? Mengapa menangis?”
“Hanya ingin. Noon, dalam sebulan aku meluangkan waktu untuk menangis.”

Noora terdiam sejenak, selalunya dia yang mengadu perihal sakit, bahagia, dan tawanya, tetapi kali ini lelaki yang selalu terlihat maskulin itu mengeluh padanya.

“Tidak apa, bukankah kamu sendiri yang mengatakan bahwa kita tidak usah pura-pura kuat?”

“Ah, iya, kau benar.”

“Kamu bisa berbagi denganku, Sa.” Noona menawarkan sebagai pendengar.

“Aku akan, terima kasih. Tidak mau tidur? Tidak lelah? Masih sesak?”

“Aku harus menjawab yang mana dulu?” Ada tawa kecil di seberang sana.

“Sesaknya berangsur mereda, aku belum mengantuk.”

“Mau begadang lagi?”

“Kamu mau menemani?”

“Jika kamu berkenan, Noon.”

Nyatanya mereka berbicara lewat telepon sampai pagi buta, bagaimana Satya bisa mengontrol perasannya jika terus seperti ini? Sungguh, lelaki itu tidak keberatan sama sekali jika harus menemani Noona. Namun, yang tidak aman adalah jantungnya, setiap kali mendengar suara lembut milik gadis 20 tahun itu jantung Satya berdegup dengan hebat tidak seperti biasanya.
🌻

-Noon, sungguh aku tidak bisa mengendalikan perasaan ini, Sang Maha Cinta terlalu megah membangun namamu di istana hatiku-

-Satya

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Aug 14 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Pulangmu bukan Padaku Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang