Firma Hilman, goyah

791 133 11
                                    

🕵️‍♀️👨‍💼

"Nggak perlu sesedih itu, Syara pasti lebih tau dia nggak diinginkan biang keladi yang membuat dia ada di rahim Ibunya." Klarisa seperti tak punya perasaan.

"Klarisa!" bentak Darka. Ia mendongak menatap, Klarisa tersenyum sinis.

"Apa!" balas Klarisa marah. "Puas, kan, kamu! Aku hancur, Darka!" Klarisa tak gentar, terus melayangkan tatapan tajam menusuk ke pria yang baru saja patah hati. Putrinya, meninggal dengan kondisi tak sempurna.

Laki-laki seperti apa dirinya. Detik itu juga Darka mengutuk dirinya sendiri sebagai seorang bajingan. Menyesal pun tak akan membawa Syara kembali hidup.

Semenjak hari itu, Darka dan Klarisa tak pernah berkomunikasi lagi. Bak orang asing, keduanya memilih menyembuhkan luka masing-masing.

"Ibu," panggil Cendana sambil menikmati es krim di hari minggu siang tapi bukan di Jakarta, melainkan di Bandung karena Klarisa ada pekerjaan di sana. Mendampingi Hilman yang sedang mencari tau informasi terkait kasus baru.

"Apa?" Klarisa bertopang dagu.

"Bapak nggak ke sekolah lagi. Udah lama, Bu," gumamnya.

Klarisa tersenyum. "Dia bukan Bapak kamu, sayang. Ibu jujur lho."

Cendana menunduk lesu, jika Darka bukan bapaknya, lalu siapa? Kenapa hanya ada Klarisa sebagai ibunya?

Keluarga kecil terlihat masuk ke kedai es krim. Cendana melirik penuh sedih juga iri.

"Suatu hari Ibu ceritain semuanya, ya. Sekarang, Cendana punya Ibu, itu cukup."

Cendana masih memberengut. Ia iri karena teman-teman di sekolah semuanya ada ayah, tapi tidak dengannya.

Klarisa harus tega untuk jujur, ia tak mau membuat Cendana berharap terlalu tinggi pada sesuatu yang tak mungkin terealisasi.

"Ibu," panggil Cendana lagi.

"Ya, cantik."

"Om Akbar, siapanya Ibu?"

"Temen."

"Kayak Dana sama Putro ya, Bu?"

Putro teman satu PAUDnya, anak itu baik dan sopan. Sering mengajak Cendana main dan ibunya sangat baik.

"Iya, bener." Klarisa membersihkan noda es krim pada sudut bibir Cendana dengan tisu. "Ayo habisin, kita harus pulang ke Jakarta."

"Oke!" seru Cendana yang langsung riang.

Tanpa terasa bulan pun berganti, Klarisa mendapatkan kabar buruk dengan firma hukum milik Hilman karena dituduh membantu tersangka penyuapan dan korupsi salah satu perusahaan minyak besar.

"Kantor disegel!" pekik Klarisa. Ia sampai menggebrak meja kerjanya. Semua tim pengacara yang bernaung di bawah firma hukum Hilman mengangguk kompak.

"Mereka mau periksa semua data kerjaan kita, Kla." Hilman berdiri bersandar di depan pintu ruang kerjanya.

"Pak. Kasus siapa yang Bapak kerjakan sebenarnya? Apa benar yang mereka tuduh?" ucap Klarisa kesal.

"Kasus petinggi perusahaan kelapa sawit di Sumatera, minta saya jadi penasehat hukumnya tapi, ternyata saya dijebak, Kla."

Klarisa bersedekap, berdiri di samping meja kerjanya. "Maksudnya?"

"Saat saya mencari bukti sendiri, coba datang ke sana ternyata di tempat itu sudah ada beberapa orang yang menyiapkan satu koper uang dollar Amerika yang saya pegang seolah-olah saya terima. Lalu ada wartawan datang, langsung tangkap tangan saya."

Magnetize ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang