Anya dan Bima adalah dua mahasiswa Teknik Industri yang memiliki reputasi berbeda di kampus. Anya, gadis energik dengan rambut pirang yang selalu dikuncir kuda, dikenal sebagai orang yang selalu keras kepala dan berani. Dia sering memimpin proyek-proyek besar di kampus, namun kadang juga bisa impulsif dalam mengambil keputusan.
Di sisi lain, Bima adalah tipe yang lebih santai dan cerdas, dengan senyum yang selalu ada di wajahnya. Meskipun sering kali dianggap santai, Bima memiliki kemampuan yang luar biasa dalam menyelesaikan masalah teknis yang rumit. Namun, dia juga punya sisi kompetitif yang kuat, terutama ketika bersaing dengan Anya.
Keduanya sudah mengenal satu sama lain sejak SMA, di mana persaingan mereka dalam hal prestasi akademik dan ekstrakurikuler sering kali memicu adu mulut di kelas. Mereka dijuluki sebagai "Rival Kampus" karena tidak pernah sepakat dalam apa pun.
Suasana di kantin kampus riuh ramai seperti biasa. Mahasiswa sibuk mengobrol, tertawa, dan menikmati waktu istirahat mereka. Di sudut kantin, Anya dan Audrey sedang duduk sambil menikmati makan siang mereka.
"Nama lo di atas gue lagi, Bim?! Gila, kesel banget gue," kata Anya sambil menghela napas panjang, menatap informasi dari whatsapp dengan ekspresi tidak percaya.
"Ya ampun, lo bener-bener serius ya benci banget sama Bima? tenang dulu sih, Nya," balas Audrey sambil mengangkat alis, mencoba menenangkan temannya walaupun tidak akan tenang.
Anya memutar mata, "Gue udah kerja keras buat tugas presentasi tadi, terus dia seenaknya ngeremehin ide gue di depan dosen. Kayak nggak ada kerjaan lain aja buat nyebelin gue."
Audrey mengangguk, "Emang dia suka gitu sih. Tapi ya udah, jangan diambil pusing."
Belum selesai Anya melampiaskan kekesalannya, Bima dan Reza tiba-tiba masuk ke kantin. Bima segera melihat Anya dan berjalan ke arahnya dengan senyum sinis.
"Oh, lo di sini, Nya. Gue mau bilang, ide lo tadi emang... lumayan lah. Tapi kayaknya kurang matang," kata Bima, berdiri di depan meja Anya dengan senyum sinis.
Anya melotot, "Apa maksud lo, Bim? Ide gue udah gue pikirin matang-matang. Lo aja yang selalu ngerasa lebih hebat."
Bima mengangkat bahu, "Gue cuma jujur aja.
Kalau nggak bisa terima kritik, ya gimana mau maju?"
Anya berdiri dengan tangan mengepal, "Kritik lo itu bukan kritik membangun, tapi ngejatuhin. Lo tuh nggak pernah bisa ngeliat orang lain sukses, ya?"
Audrey dan Reza saling pandang, berusaha menghindari konflik yang sedang memanas.
"Udah-udah, jangan dibesar-besarin. Kalian berdua tuh bisa ngomong baik-baik tanpa harus berantem," kata Reza, berusaha menenangkan.
"Gue cuma bilang fakta, Anya. Kalau lo nggak suka, ya terserah," kata Bima menatap Anya dengan dingin.
"Gue bener-bener nggak ngerti kenapa lo selalu nyebelin banget, Bima. Apa lo puas kalau liat gue kesel?" tanya Anya dengan suara bergetar marah.
Bima tersenyum kecil, "Gue nggak perlu puas, Anya. Gue cuma pengen kita semua bisa maju. Tapi kalau lo terus-terusan kayak gini, susah deh."
"Kita nggak akan pernah sepakat, Bima. Dan gue nggak butuh lo buat maju," kata Anya dengan nada tajam.
"Fine, Anya. Gue nggak peduli lo mau maju atau nggak. Cuma inget, dunia ini nggak selalu sesuai sama apa yang lo mau," balas Bima dengan dingin.
Anya membalikkan badan, berusaha mengabaikan Bima yang masih berdiri di sana. Audrey menarik tangan Anya, mengajaknya duduk kembali.
"Udah, Anya. Jangan diladenin. Lo nggak mau kan ngabisin waktu lo buat orang kayak dia?" bisik Audrey, berusaha menenangkan.
Anya menghela napas, berusaha tenang, "Tya, lo bener. Gue nggak mau buang waktu gue lagi."
Bima dan Reza akhirnya pergi, meninggalkan Anya dan Audrey yang masih berusaha meredakan ketegangan. Namun, konflik di antara mereka belum berakhir, dan tampaknya persingan ini akan terus berlanjut.
**
Hari sudah mulai sore ketika Anya dan Bima terjebak di perpustakaan kampus. Mereka sedang mengerjakan tugas kelompok yang harus segera dikumpulkan besok pagi.
Perpustakaan sepi, hanya ada suara mesin pendingin udara dan beberapa mahasiswa yang sibuk dengan urusan mereka masing-masing.
Anya duduk di meja dengan laptopnya, mencoba fokus pada tugas yang ada. Bima, di sisi lain, duduk berlawanan sambil memeriksa catatan di buku tebal yang terbuka di depannya.
"Lo bisa nggak sih, nggak usah gangguin gue terus?" Anya mulai kesal, menatap Bima yang terus menerus memberikan komentar.
"Apa? Gue cuma bilang kalau lo salah masukin data," jawab Bima dengan nada datar, tetap fokus pada bukunya.
Anya menghela napas, "Gue nggak butuh lo buat ngoreksi kerjaan gue, Bima. Gue bisa sendiri."
Bima mengangkat alis, "Kalau lo bisa sendiri, kenapa tugas ini belum kelar juga sampai sekarang?"
Anya menutup laptopnya dengan keras, "Mungkin kalau lo nggak gangguin gue terus, tugas ini udah selesai dari tadi."
Bima tersenyum kecil, "Oh, jadi sekarang salah gue?"
"Ya jelas! Lo nggak pernah bantuin, cuma bisa ngekritik doang," balas Anya dengan nada tajam.
Sebelum Bima sempat membalas, lampu perpustakaan tiba-tiba berkedip dan mati.
Kedua mahasiswa itu terdiam sejenak, menunggu lampu kembali menyala, namun ruangan tetap gelap.
"Great! Mati lampu," gumam Anya, mencoba melihat sekitar.
Bima mengeluarkan ponselnya dan menyalakan senter, "Kayaknya kita harus keluar sekarang sebelum pintunya dikunci."
Mereka segera mengemasi barang-barang mereka dan berjalan menuju pintu keluar.
Tapi saat mereka tiba di pintu, mereka mendapati pintu sudah terkunci.
"Lo bercanda kan? Tadi masih buka," kata Anya panik.
Bima mencoba membuka pintu, namun hasilnya nihil. "Ya ampun, terkunci. Kita terjebak di sini."
Anya memutar mata, "Luar biasa. Ini semua gara-gara lo, Bima."
Bima menatanya dengan tidak percaya, "Gara-gara gue? Lo yang nggak mau keluar lebih awal."
Mereka berdua mencoba mencari cara lain untuk keluar, namun semua pintu dan jendela terkunci rapat. Mereka akhirnya duduk kembali di meja mereka, menyerah pada situasi.
"Lo ada ide gimana keluar dari sini?" tanya Anya sambil menatap Bima dengan kesal.
Bima menggeleng, "Nggak ada sinyal di sini.
Kita harus nunggu sampai pagi."
Anya menghela napas berat, "Hebat.
Terjebak semalaman sama lo. Ini mimpi buruk."
Malam berlalu dengan suasana tegang antara mereka. Keduanya terpaksa berbagi ruang dan mencoba tidur seadanya di kursi perpustakaan. Saat fajar mulai menerangi langit, suara langkah kaki dan bisik-bisik mahasiswa lain terdengar dari luar pintu.
"Pagi juga akhirnya," kata Bima dengan nada lega.
Pintu perpustakaan akhirnya dibuka oleh petugas kebersihan, yang terkejut melihat Anya dan Bima di dalam. "Kalian ngapain di sini? Terjebak semalaman?"
Anya dan Bima hanya bisa mengangguk, merasa lega akhirnya bisa keluar dari situasi yang sulit.
Berita tentang mereka terjebak semalaman di perpustakaan segera tersebar di kalangan mahasiswa dan bahkan masuk ke portal berita kampus. Cerita mereka menjadi pembicaraan hangat, dengan berbagai spekulasi tentang apa yang sebenarnya terjadi di dalam perpustakaan itu.
Anya menatap Bima dengan penuh kemarahan, "Gue bener-bener nggak akan lupa ini, Bima. Lo selalu bikin masalah."
Bima tersenyum tipis, "Santai aja, Anya. Kita selamat, kan?"
Anya hanya mendengus dan berjalan pergi, meninggalkan Bima yang mash berdiri di depan perpustakaan. Meski mereka sudah keluar dari perpustakaan, konflik mereka jauh dari kata selesai.
KAMU SEDANG MEMBACA
Rival Kampus
RomanceBima dan Anya telah menjadi rival sejak SMA hingga kuliah, selalu bersaing dalam segala hal. Bersama mereka, Nina juga berkompetisi ketat dan diam-diam menyukai Bima. Meski sering bertengkar, Bima dan Anya akhirnya menjalin hubungan, membuat Nina ce...