Prolog

61 6 2
                                    

Suara langkah kaki menggema serentak, setelah lolongan di sepanjang lorong berhasil memecah keheningan malam. Tak ada yang tahu apa penyebabnya. Seorang suster tiba-tiba saja berteriak, lima menit selang ia berjalan meninggalkan tempat jaga, memeriksa kondisi pasiennya.

Memancing perhatian banyak orang, membuat malam yang sunyi berubah menjadi ramai. Beberapa orang di kamar lain keluar, penasaran dengan apa yang terjadi. Suasana menjadi ricuh, dengan keluhan dari beberapa orang yang terlontar. Kini, tibalah saatnya satpam untuk bertindak.

Dua orang dikirim untuk mengawal barisan depan, sementara dua perawat lainnya mengikuti. Selain mereka berempat, petugas rumah sakit lain mengimbau kepada seluruh penghuni agar tenang, mempercayakan tugas kepada orang lebih pantas.

Setelah berlarian dengan jarak yang cukup jauh, dikarenakan suara berasal dari gedung seberang, yang mana tak ada satu pun kamar yang berpenghuni selain kamar yang dimaksud. Sebenarnya, gedung itu kosong karena akan direnovasi.

Namun, kapasitas kamar yang penuh membuat petugas rumah sakit terpaksa menerima satu pasien lagi untuk ditetapkan di gedung yang sementara waktu tak memiliki tempat penjagaan perawat. Itulah alasan mengapa mereka berlari sekarang.

Cukup banyak kalori yang dikuras, dibayar dengan pemandangan depan kamar yang mencekam. Dari samping, keempat petugas rumah sakit itu melihat bahwa pintu dari kamar tak tertutup, melainkan terbuka dengan noda merah yang terukir di ambang.

Rasa takut menyerang, menghentikan langkah mereka, disusul oleh keraguan yang menyelimuti hati. Apa yang terjadi di dalam sana?

Namun, mereka tak bisa mundur. Ini merupakan tanggung jawab yang harus diselesaikan. Perlahan, satu per satu kembali mengangkat kaki, mendekat. Walaupun firasat buruk menggebu-gebu di dalam otak, semuanya berusaha ditepis, digantikan dengan dugaan-dugaan yang lebih bersahabat.

Tetap saja, itu semua tak bisa menghalangi aura buruk yang dirasa. Otak mereka memilih untuk melanjutkan, tetapi hati mereka menolaknya mentah-mentah. Di ambang pilihan, dengan mantap keempat orang itu memutuskan untuk tak memundurkan langkah.

Semakin dekat jarak ruangan, semakin besar pula keraguan yang ada dalam benak. Kombinasi bau besi dan amis menyengat, menembus paksa masker yang dikenakan, tanpa permisi. Langkah mereka kembali terhenti, tatkala ada sebuah bayangan yang terpantul keluar.

Seseorang berdiri, mematung dan tak menggerakkan tubuhnya sama sekali, kecuali kepalanya yang terus meneleng. Dari penampilannya, perempuan itu merupakan seorang wanita. Namun, bisa dipastikan jika ia bukanlah suster yang dimaksud. Tak salah lagi, itu adalah pasien penunggu kamar.

“Halo ...?” Salah seorang satpam memberanikan diri untuk maju memimpin, menyapa pasien itu. Keringatnya mengucur deras, membasahi seragam hitam yang dikenakannya.

Seluruh tubuhnya menegang, ketika bayangan wanita itu bergerak, tampak mengayunkan tangan yang sempat ia sembunyikan di balik badan. Sebuah benda berbentuk bulat, digenggam olehnya. Dahi mengernyitkan, penasaran dengan benda apa yang ia pegang.

Semacam ... kelapa? Tapi ... kenapa ada beberapa tali kecil yang menjuntai?

“ARGH ...!!!”

Bak memberi jawaban atas rasa penasaran barusan, wanita itu melemparkan benda yang digenggam olehnya. Semua dugaan yang sempat terpikirkan, terbantahkan.

Benar-benar tak bisa disangka, bahwa apa yang ia bawa bukanlah hal yang wajar, melainkan sesuatu yang sangat mengerikan.
Kepala, ia melempar sebuah kepala manusia.
Benda itu terpental dari dinding, menggelinding beberapa meter, sebelum diam di tempat.

Posisinya tepar menghadap ke arah empat orang yang ada di sana. Raut wajahnya terlihat sangat ketakutan, dengan mulut yang menganga dan sepasang mata yang melotot. Seorang suster malang menemui mautnya dalam keadaan mengenaskan.

Beberapa detik setelah benda itu keluar, tampaklah wanita lain yang mengenakan baju pasien, berjalan keluar ruangan. Kedua tangannya berwarna merah pekat, merambat hingga ke baju dan wajahnya.

Pandangannya menunduk, menatap benda yang baru saja ia lempar. Entah apa yang dipikirkan olehnya, senyuman tipis terbit di kedua ujung bibirnya. Sama sekali tak ada ekspresi panik dengan pembunuhan sadis yang baru saja ia lakukan.

Lehernya terluka parah, mungkin patah tulang atau sejenisnya karena posisi kepalanya tak normal. Tak ada penyangga kepala yang dikenakannya, mungkin saja telah dicabut dan dibuang entak ke mana. Lagi-lagi rasa heran tercipta dari sana.

Wanita itu menoleh, membuat semua orang yang melihatnya mundur, tak kuasa menahan tatapan mengerikan yang dipancarkan dari lensa matanya. Menyadari ada orang lain, wanita itu melarikan diri melewati lorong satunya.

Tak tinggal diam, dua orang satpam mengejar, sementara dua perawat yang ikut dengannya, sibuk menghubungi polisi dan rekan-rekannya yang lain.

Dalam pengejaran, wanita itu benar-benar memiliki tenaga yang luar biasa. Walaupun dalam keadaan yang tak prima, ia mampu mengalahkan pace lari dari kedua satpam yang mengerjanya. Tak menyerang, dua satpam itu terus berlari sekuat tenaga, mengikuti setiap ke mana tujuan dari wanita tak waras itu.

“Ojo mlayu! Koe wes mateni wong, koe kudu tanggung jawab!” (Jangan lari! Kamu sudah membunuh orang, kamu harus tanggung jawab!)

Sama sekali tak dihiraukan, wanita itu terus berlari, menuju pintu keluar dari rumah sakit. Di bawah rembulan yang bersinar, ketiga orang saling mengejar. Tak ada yang mampu mengungguli kemampuan lari dari si wanita tersebut. Semua ini sangat tak masuk akal, aneh.

Apa yang terjadi dengan wanita itu?

“Woi, bahaya!!!”

Wanita itu berlari ke jalan raya, tanpa mengenal rasa takut sedikit pun. Melihat aksi nekatnya, kedua satpam itu menambah kecepatan larinya, menyusul si wanita yang berdiri mematung di tengah jalan.

Kondisi di jalan tampak sepi. Awalnya, kedua satpam itu mengira jika wanita itu akan baik-baik saja, mengingat jarak darinya sudah mulai dekat. Sebentar lagi, kedua satpam ini akan berhasil menangkap wanita itu dan membawanya untuk menjelaskan apa yang ia perbuat.

Cit ...!

Namun, semua harapan itu sirna, bertepatan dengan sinar yang menyorot terang dari arah samping. Dari deru mesinnya, bisa ditebak jika kendaraan itu melaju dengan kecepatan tinggi. Hal itulah yang membuat bunyi decit rem terdengar sangat nyaring, disertai dengan banyaknya klakson yang digemakan.

Salah satu satpam berniat untuk menerjang, jika saja temannya tak menghentikannya. Tak ada yang bisa dilakukan lagi, semuanya sudah terlambat. Ajal wanita malang itu sudah di depan mata. Terlihat dengan jelas lewat sorotan lampu truk, nama yang tercantum di gelang pasien itu.

Hanni Kasturi

Krek!

Kedua satpam menutup mata serentak, menyaksikan dari jarak dekat ketika ban truk yang lumayan besar, melindas tubuh manusia malang hingga tak berbentuk lagi. Bunyi tulang-tulang yang hancur terdengar nyaring, disertai dengan cipratan darah dengan radius yang jauh.

Selang beberapa menit, suasana malam kembali sunyi. Tak ada yang berani berkomentar. Satu-satunya suara yang terdengar hanyalah bunyi napas yang saling beradu. Cipratan darah yang berhasil mengenai baju, menjadi motif yang tercipta akibat sebuah tragedi yang kelam.

Beberapa hari ke depan, mungkin kejadian ini akan dikenang dalam waktu yang lama, disiarkan secara terang-terangan kepada khalayak umum, tentang dua orang satpam yang menjadi saksi tentang semua yang terjadi.

Bukan hanya ketenaran yang mereka dapatkan karena berhasil masuk ke dalam televisi, melainkan rasa trauma yang sangat membekas, sulit untuk dihilangkan, mempengaruhi kehidupan yang semula normal.

Memori yang ditepis dengan cara apa pun, tak akan bisa meleburkan tragedi yang selalu berputar kembali di dalam kepala. Selamanya, keduanya akan selalu mengingatnya.
Sampai kapan pun, di mana pun mereka berada.





NB : Silakan baca ulang Rogo Dedemit 1 agar tidak lupa akan detail-detail dan petunjuk yang ada. Bagi pembaca yang baru, disarankan agar membaca Rogo Dedemit pertama agar dapat mengikuti alur cerita bagian dua ini. Terima kasih ☺️

Rogo Dedemit 2Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang