Bab 1

44 4 2
                                    

Flashback On

Malam itu, desa di kaki bukit terasa tidak pernah segelap ini. Angin malam berhembus lembut melalui pohon-pohon, membawa suara risik daun yang terjaga dalam kesunyian. Langit di atas desa tertutup awan tebal, menghalangi sinar bulan dan bintang-bintang, menyisakan hanya kegelapan yang pekat. Suasana malam ini dipenuhi dengan rasa khawatir dan ketegangan. Hilangnya seorang anak kecil yang baru berusia delapan tahun, telah membangkitkan kecemasan di seluruh penjuru desa.

Sebelum malam jatuh sepenuhnya, warga desa telah memulai pencarian. Dengan lampu senter di tangan dan harapan di hati, mereka bergerak beriringan menuju hutan di ujung sawah, tempat yang dianggap sebagai kemungkinan terakhir anak itu berada.

Hujan yang turun pagi hari telah membuat tanah menjadi lembek dan licin. Air hujan yang menggenang membuat jalan setapak menuju hutan penuh genangan dan berlumpur, menyulitkan setiap langkah mereka.

Mereka tampak lelah, namun tekad untuk menemukan anak yang hilang menggerakkan mereka maju. Beberapa dari mereka bersandar pada tongkat atau berjalan dengan hati-hati untuk menghindari tanah yang licin, sementara yang lain tidak bisa menyembunyikan ketidakpastian di wajah mereka. Rasa cemas dan keputusasaan mengisi udara, membuat setiap langkah terasa lebih berat dari sebelumnya.

Sesampainya di depan hutan, warga desa berhenti sejenak, mengumpulkan kekuatan. Kegelapan yang menyelimuti hutan terasa begitu menakutkan, seolah menyembunyikan berbagai misteri dan bahaya yang tak terlihat. Pohon-pohon besar berdiri menjulang tinggi, cabang-cabang mereka membentuk kanopi yang menutup rapat cahaya, menciptakan bayangan-bayangan yang mengerikan. Suara angin yang berdesir dan risik dedaunan hanya menambah suasana mencekam.

Pak RT berdiri di depan kerumunan, memberikan instruksi dengan tegas. "Kene Kabeh kudu bagi kelompok ben luwih efektif!" (Kita semua harus membagi kelompok agar lebih efektif) katanya sambil melirik ke arah hutan yang amat luas.

"Kelompok siji, nyisir bagian wetan hutan. Kelompok loro, bagian tengah. Kelompok telu, mlebu reng ngulon. Kelompok seng melu aku, nyisir bagian sing paling pojok." (Kelompok satu, menyisir bagian timur hutan. Kelompok dua, bagian tengah. Kelompok tiga, masuk ke barat. Kelompok yang ikut aku, menyisir bagian yang paling pojok.)

Kelompok pertama mulai bergerak memasuki hutan dengan hati-hati, diikuti kelompok kedua dan ketiga. Pak RT, bersama lima orang lainnya, memutuskan untuk menjelajahi bagian hutan paling pojok, yang dikenal dengan terjalnya medan dan kerapatannya.

Hutan yang mereka masuki semakin gelap dan misterius. Pohon-pohon besar dengan akar-akar yang menjalar membuat perjalanan semakin sulit. Gelapnya malam dan kabut tipis yang menyelimuti hutan membuat penglihatan semakin terbatas. Tiap langkah kaki mereka menggema di kegelapan, seolah suara mereka menambah kekacauan dalam kesunyian yang melingkupi hutan. Hati-hati, mereka harus memantau setiap gerakan di sekeliling mereka, merasakan sesuatu yang tidak beres.

Perasaan tak nyaman mulai merayap ke dalam diri mereka. Suara-suara hutan yang biasa, seperti kicauan burung dan suara binatang malam, seolah menghilang, digantikan oleh rasa tertekan dan cemas. Seolah-olah ada sesuatu yang mengamati mereka dari jauh, membuat setiap orang merasa seperti ada mata yang tak terlihat mengikuti setiap langkah mereka.

Pak RT merasakan ketegangan yang semakin meningkat. Seluruh kelompok berhenti sejenak untuk beristirahat, sementara Pak RT memeriksa sekitar. "Pie? Koe-koe kabeh ... iseh sanggup, 'kan?" (Bagaimana? Kalian semua ... masih sanggup, 'kan?) tanya Pak RT kepada anggotanya sembari terengah-engah.

"Ono ... ono seng ora beres iki, Pak." (Ada .. ada yang tidak beres ini, Pak) ujar Budi, salah satu anggota kelompok dengan nada cemas. "Howone aneh. Sepi, koyo ...." (Hawanya aneh. Sepi, seperti ....) Budi meneguk ludah. "Kuburan."

Rogo Dedemit 2Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang