Sebelum mulai baca, jangan lupa untuk vote dan tinggalkan komentar ya. Kalau ada typo atau kesalahan, jangan ragu kasih tahu, terima kasih sebelumnya!
Buat kalian yang baru pertama kali mampir di Wattpad-ku, jangan lupa follow agar tidak ketinggalan update cerita seru berikutnya!✧
Malam itu, Alya tidak bisa tidur. Setelah pertemuan di ruang kesehatan, pikirannya dipenuhi oleh perasaan cemas dan firasat buruk. Suara bisikan Andra terus terngiang di telinganya. Lari... Bisikan lemah itu bukan hanya sebuah peringatan, tapi lebih seperti tanda bahwa sesuatu yang mengerikan akan terjadi.
Alya meraih ponselnya, membuka aplikasi pesan, dan mengetik cepat kepada Maya.
"Kita harus ketemu besok. Aku punya firasat buruk soal semua ini. Waspadalah."
Tak lama kemudian, balasan dari Maya muncul.
"Aku juga nggak tenang, Alya. Ada yang janggal dengan semua yang kita temui. Besok aku ke rumahmu setelah sekolah."
Alya mengembuskan napas pelan, merasa sedikit lega. Setidaknya, Maya juga merasakan keanehan yang sama. Namun, ada sesuatu yang lebih besar dari yang bisa mereka bayangkan. Dia tidak tahu apa, tapi instingnya mengatakan bahwa mereka sudah berada di tengah konspirasi yang jauh lebih gelap.
Pikirannya terus bergulir. Suara pria berjas hitam, tatapan dingin Pak Ridwan, dan bisikan Andra semuanya terasa seperti bagian dari teka-teki yang belum terpecahkan. Alya memutuskan bahwa besok dia tidak akan tinggal diam lagi. Jika ada sesuatu yang disembunyikan oleh sekolah, dia akan menemukannya, meski itu berbahaya.
Keesokan harinya, suasana di sekolah terasa berbeda. Meskipun semuanya terlihat normal, Alya merasa ada yang berubah. Ketika dia melewati lorong-lorong sekolah, tatapan murid-murid yang biasanya ceria kini tampak kosong, seolah-olah mereka sedang menghadapi sesuatu yang berat. Suasana itu semakin menguatkan firasatnya bahwa wabah ini lebih dari sekadar penyakit fisik. Ada sesuatu yang lebih mendalam, mungkin berhubungan dengan jiwa atau pikiran.
Setelah kelas selesai, Maya datang menemuinya di tempat yang sudah mereka sepakati—sebuah bangku di taman sekolah, di bawah pohon besar yang jarang didatangi orang.
"Aku merasa makin nggak enak, Alya," kata Maya sambil duduk di sebelahnya. "Aku dengar ada beberapa siswa lagi yang jatuh sakit kemarin malam."
Alya menatap Maya dengan serius. "Siapa saja? Apa kamu tahu?"
"Rani dan Adi. Mereka berdua tiba-tiba demam tinggi dan pingsan saat sedang di rumah. Orang tua mereka bilang, mereka sebelumnya merasa baik-baik saja, tapi kemudian langsung jatuh sakit tanpa alasan yang jelas," jelas Maya sambil memainkan rambutnya, jelas cemas.
Alya merasakan ada yang menusuk di dalam dirinya. Rani dan Adi adalah teman sekelas mereka. Alya mengingat bahwa dia baru saja melihat mereka beberapa hari yang lalu, tampak sehat dan ceria. "Ini semakin serius, May. Kita harus cari tahu apa yang sebenarnya terjadi."
Maya mengangguk setuju, tapi tatapannya masih cemas. "Tapi bagaimana caranya? Sekolah sepertinya menutupi sesuatu. Kamu lihat sendiri kemarin, Pak Ridwan dan pria berjas hitam itu sepertinya tahu sesuatu."
Alya berpikir sejenak, mengingat setiap detail dari hari kemarin. "Mungkin kita harus mulai dari ruang kesehatan lagi. Mungkin ada petunjuk di sana. Lagi pula, Andra... dia sempat bilang sesuatu. Dan aku merasa ada sesuatu yang belum kita temukan."
Maya tampak ragu, tapi kemudian mengangguk. "Baiklah, tapi kita harus hati-hati. Kita nggak tahu siapa yang bisa kita percayai di sekolah ini."
Malam hari tiba, dan Alya serta Maya kembali ke sekolah secara diam-diam. Dengan penuh kehati-hatian, mereka menyelinap melewati penjaga keamanan dan menuju ke ruang kesehatan. Suasana sekolah yang biasanya ramai dan penuh dengan suara kini terasa begitu sunyi dan menyeramkan. Langit malam di luar tampak suram, dengan kabut tipis melayang di atas tanah.
Mereka berdua berhenti di depan pintu ruang kesehatan, hati mereka berdegup kencang. Maya menarik napas dalam-dalam sebelum meraih gagang pintu dan membuka perlahan. Ruangan itu gelap, hanya diterangi oleh lampu darurat yang samar. Tempat tidur medis di sudut ruangan terlihat kosong, tapi ada jejak darah di lantai yang belum dibersihkan, mungkin dari luka Andra sebelumnya.
Alya merasakan bulu kuduknya berdiri. "Mungkin kita harus periksa catatan medis mereka," bisiknya.
Mereka berjalan ke meja di sudut ruangan di mana beberapa berkas terlihat tersusun rapi. Maya mulai mencari-cari, membuka beberapa map, sementara Alya menjaga pintu, waspada terhadap suara langkah kaki atau tanda bahaya lainnya.
Tiba-tiba, Maya berhenti. "Alya, lihat ini."
Alya segera mendekat. Di tangan Maya ada sebuah dokumen dengan stempel sekolah. Isinya adalah laporan medis siswa yang terinfeksi oleh wabah misterius. Tapi ada satu hal yang menarik perhatian Alya—catatan itu mencatat nama beberapa siswa yang tidak mereka kenal, seolah-olah mereka adalah siswa baru. Padahal, sepengetahuan mereka, tidak ada pendaftaran baru selama beberapa minggu terakhir.
"Ini nggak masuk akal," bisik Alya. "Kenapa nama-nama ini ada di sini? Dan kenapa kita nggak tahu mereka?"
Maya menunjuk satu bagian laporan. "Lihat ini, Alya. Ada tanggal yang aneh di sini. Sepertinya ini bukan laporan penyakit biasa."
Alya membaca lebih dekat, dan bulu kuduknya semakin merinding. Tanggal-tanggal dalam laporan itu tampak tidak konsisten, seolah-olah ada sesuatu yang dimanipulasi. Ditambah lagi, ada catatan tangan di sudut halaman yang menyebutkan sesuatu tentang 'eksperimen' dan 'subjek uji'.
"Apa ini semua artinya?" Maya berbisik, matanya melebar ketakutan.
Alya menelan ludah, rasa takutnya semakin dalam. "Ini bukan hanya soal wabah, May. Ini lebih dari itu. Mereka... mungkin menggunakan siswa-siswa sebagai percobaan."
Sebelum mereka bisa mencerna lebih jauh, suara langkah kaki mendekat. Alya dan Maya segera menutup laporan itu dan bersembunyi di balik tirai tempat tidur, menahan napas.
Pintu ruang kesehatan terbuka, dan pria berjas hitam yang sama dari hari sebelumnya masuk, diikuti oleh Pak Ridwan. Mereka berbicara pelan, tapi cukup jelas untuk didengar oleh Alya dan Maya.
"Kita harus percepat rencana ini. Terlalu banyak siswa yang mulai menyadari apa yang terjadi," suara pria itu terdengar tajam dan dingin.
Pak Ridwan terdengar khawatir. "Tapi wabahnya sudah mulai menyebar di luar kendali. Bagaimana kalau ada pihak luar yang ikut campur?"
Pria berjas hitam mendengus. "Itu urusan kita. Kamu hanya pastikan tidak ada siswa yang keluar dari jalur. Jika ada yang terlalu penasaran, seperti Alya dan teman-temannya, kita akan segera bertindak."
Alya merasakan jantungnya berhenti sesaat. Mereka tahu.
To be continued...
KAMU SEDANG MEMBACA
THE SILENT PLAGUE
HorrorDi sebuah kota kecil yang tenang, penyakit misterius mulai menyebar tanpa peringatan. Orang-orang yang terinfeksi tidak segera berubah menjadi mayat hidup, tetapi mereka perlahan kehilangan kesadaran, menjadi terobsesi dengan suara tertentu yang han...