26. DI BALIK TABIR KEGELAPAN

9 0 0
                                    

Sebelum mulai baca, jangan lupa untuk vote dan tinggalkan komentar ya. Kalau ada typo atau kesalahan, jangan ragu kasih tahu, terima kasih sebelumnya!

Buat kalian yang baru pertama kali mampir di Wattpad-ku, jangan lupa follow agar tidak ketinggalan update cerita seru berikutnya!

Setelah berjam-jam perjalanan, helikopter yang membawa Alya, Dika, dan Maya akhirnya mendarat di sebuah pangkalan rahasia yang terletak di tengah hutan lebat. Pangkalan itu tersembunyi dari dunia luar, dan terlihat seperti bunker besar yang tertutup rapat dengan sistem keamanan berlapis.

Alya memandang sekeliling dengan perasaan campur aduk. Pangkalan ini terasa sangat asing, jauh dari segala hal yang ia kenal. Namun, ada perasaan bahwa tempat ini adalah satu-satunya harapan mereka untuk menghentikan wabah "The Silent Plague."

Begitu mereka turun dari helikopter, seorang petugas berpakaian pelindung mendekati mereka. "Selamat datang di markas pusat. Kami sudah menunggu kedatangan kalian."

Maya, yang terlihat sangat lelah, bertanya dengan suara pelan, "Apa yang akan terjadi sekarang?"

Petugas itu tersenyum tipis, namun tidak memberikan jawaban yang jelas. "Kalian akan diberi pengarahan. Ikuti saya."

Mereka bertiga mengikuti petugas itu masuk ke dalam bunker. Suasana di dalam sangat dingin dan steril, dengan dinding logam yang berkilauan. Lampu neon yang berwarna pucat menerangi lorong-lorong panjang yang seolah tak berujung. Alya merasakan kedinginan menjalar di punggungnya, bukan karena suhu, tapi lebih karena perasaan bahwa ada sesuatu yang disembunyikan di tempat ini.

Mereka dibawa ke ruang rapat besar yang dipenuhi layar monitor, peta, dan grafik yang kompleks. Di sana, seorang pria dengan setelan militer sedang menunggu mereka. Wajahnya tegas dan tanpa ekspresi, menandakan bahwa ia adalah seseorang dengan otoritas tinggi.

"Nama saya Kolonel Rendra," katanya dengan suara tegas. "Kalian sudah melalui banyak hal, dan kami menghargai keberanian kalian. Namun, ini baru awal dari sesuatu yang jauh lebih besar."

Alya, yang sejak tadi sudah merasa ada yang janggal, tidak bisa menahan diri untuk bertanya, "Apa sebenarnya yang terjadi di sini? Apa yang kalian sembunyikan dari kami?"

Kolonel Rendra memandang Alya dengan tajam, lalu dia berjalan ke arah monitor besar di tengah ruangan. "Kalian sudah mendengar tentang E-17 dan proyek rahasia kami. Tapi itu hanya sebagian kecil dari teka-teki besar. Wabah yang kalian hadapi, 'The Silent Plague', adalah hasil dari eksperimen yang keluar dari kendali. Kami telah mencoba menutupi ini, tapi sekarang semua sudah terlambat."

Maya terkejut. "Kalian tahu tentang ini dari awal? Dan kalian tidak melakukan apa-apa?"

Kolonel itu menggelengkan kepalanya. "Kami mencoba. Proyek ini dimulai sebagai upaya untuk mengembangkan agen biologis yang bisa melindungi umat manusia dari ancaman global. Namun, eksperimen itu melahirkan sesuatu yang tidak bisa kami kendalikan. Virus itu bermutasi dengan cepat dan menjadi sesuatu yang jauh lebih berbahaya daripada yang pernah kami bayangkan."

Dika, yang sejak awal terlihat tenang, akhirnya angkat bicara. "Jadi, wabah ini... buatan manusia? Kalian yang menyebabkan semua kekacauan ini?"

Kolonel Rendra menghela napas berat. "Secara teknis, ya. Tapi kami tidak pernah berniat untuk melepaskannya ke populasi umum. Ada kekuatan lain yang bermain di sini. Beberapa pihak ingin memanfaatkan wabah ini untuk keuntungan mereka sendiri, dan kami berusaha mencegah hal itu. Tapi situasinya semakin rumit."

Alya mengepalkan tangannya, mencoba menahan amarah yang memuncak. "Jadi apa yang kalian harapkan dari kami sekarang? Kami sudah kehilangan banyak teman, banyak orang mati. Dan kalian hanya duduk di sini, mencoba memperbaiki sesuatu yang kalian ciptakan?"

Kolonel itu memandang Alya dengan dingin. "Kami butuh bantuan kalian untuk menghentikan ini. Kalian sudah melihat efeknya di lapangan. Kami percaya, dengan informasi yang kalian miliki, kalian bisa membantu kami menghentikan penyebaran lebih lanjut. Ada satu lokasi terakhir yang menjadi sumber utama wabah ini, dan kami membutuhkan kalian untuk pergi ke sana."

Mata Alya melebar. "Kalian ingin kami pergi ke tempat itu? Di mana itu?"

Kolonel Rendra menekan sebuah tombol di meja, dan layar besar di belakangnya menampilkan peta digital yang memperlihatkan sebuah lokasi terpencil di pegunungan. "Ini adalah pusat penelitian asli di mana eksperimen pertama kali dilakukan. Kami kehilangan kontak dengan mereka beberapa bulan yang lalu. Kami yakin, di sanalah kunci untuk menghentikan wabah ini."

Maya terlihat ragu. "Ini terlalu berbahaya. Bagaimana jika kita tidak bisa kembali?"

Kolonel itu menatap mereka dengan penuh keseriusan. "Kami tidak bisa menjanjikan keselamatan kalian. Ini adalah misi berisiko tinggi. Tapi jika kalian berhasil, kalian mungkin bisa menghentikan wabah ini selamanya."

Alya, Dika, dan Maya saling berpandangan. Mereka tahu ini bukan keputusan yang mudah. Tapi setelah semua yang mereka lalui, mereka tidak bisa kembali dan hanya duduk diam. Dunia sedang runtuh di sekitar mereka, dan mereka adalah salah satu harapan terakhir.

Alya menarik napas dalam-dalam, lalu mengangguk. "Kami akan melakukannya. Kami akan pergi ke sana dan mencari cara untuk menghentikan wabah ini."

Kolonel Rendra mengangguk puas. "Baiklah. Kalian akan diberi perlengkapan dan tim pendukung. Bersiaplah, kita akan berangkat secepatnya."

Dalam diam, Alya mempersiapkan dirinya untuk misi terakhir ini. Meskipun ketakutan menyelimutinya, ia tahu ini adalah satu-satunya jalan untuk menyelamatkan dunia dari bayang-bayang kegelapan yang semakin mendekat.

Dan di kejauhan, di tempat yang tertutup oleh pegunungan yang sunyi, sesuatu yang jauh lebih mengerikan daripada E-17 menunggu mereka.

To Be Continued...

THE SILENT PLAGUETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang