30. Rumah Berhantu (8)

269 22 0
                                    

Mendengar penjelasan dari Praja, membuat Pak Toni terbelalak kaget.

"Jadi maksudmu, semua orang yang pernah berinteraksi dengan kami menjadi tumbal dari sekte itu?" Tanyanya.

"Ya, bahkan aku rasa agen perumahan yang menjual rumah itu juga terlibat. Itu sebabnya rumah itu bisa dengan mudah berpindah pemilik tanpa dicurigai!" Balas Praja.

"Begitu ya, lalu bagaimana dengan Ajag? Apa dia berhubungan dengan sekte itu?" Tanya Pak Toni lagi.

"Soal itu aku rasa tidak, mungkin kemunculan Ajag di situ hanya sebuah kebetulan," jawab Praja.

"Ngomong-ngomong ada hal yang membuatku penasaran. Apakah Anda punya hal lain yang mengganjal pikiran Anda selain masalah jasad kalian yang belum dimakamkan dengan layak? Misalkan seperti rasa dendam pada para perampok itu?" Tanya Praja.

Mendengar pertanyaan Praja, Pak Toni pun terdiam sejenak, sebelum akhirnya mulai menjawab. "Sejujurnya hal utama yang menahan kami di dunia ini adalah rasa bersalahku pada keluargaku. Aku merasa diriku gagal melindungi mereka, jika saja kali ini aku berhasil melindungi mereka, maka kami pasti bisa beristirahat dengan tenang!"

Praja pun tersenyum mendengar jawaban dari Pak Toni, "kalau begitu akan kupastikan Anda akan bisa melindungi keluarga Anda kali ini!"

Mereka pun terus mengobrol dan mendiskusikan soal Ajag dan juga sekte sesat itu, sementara Maya dan bu Marni hanya memperhatikan dari jauh.

"Namamu Maya kan? Bisakah kamu jelaskan padaku soal kalian?" Ucap bu Marni yang memulai percakapan.

Maya lalu menjelaskan soal dirinya dan juga soal para Indagis, tentang seberapa hebat mereka dalam menghadapi kekuatan gaib.

"Begitu ya, kalo begitu bolehkah saya berharap agar kalian bisa menyelamatkan putri kami?" Ujar Bu Marni.

"Dulu saat dia hidup, kami gagal melindungi senyumannya. Dia adalah harta kami yang paling berharga, sebisa mungkin kami ingin melindunginya, tapi kami gagal. Dan sekarang, setelah kematiannya pun dia masih berada dalam bahaya karena keteledoran kami," lirih Bu Marni

Mendengar itu, Maya hanya memandang Bu Marni dengan tatapan sendu. Perlahan ia membelai dengan lembut punggung sosok itu, sosok yang tampak mengerikan dari luar, tapi sebenarnya merupakan seorang ibu yang ingin melindungi putrinya.

"Ibu tenang saja, saya berjanji akan menyelamatkan putri ibu. Saya kini tahu, bahwa meskipun kalian sudah mati, tapi ikatan ibu dan anak diantara kalian tidak akan pernah terputus!" Ucap Maya dengan tersenyum kecil.

Untuk sesaat, gadis itu jadi teringat wajah dari sosok seorang ibu yang telah melahirkannya. Ia hanya mengingatnya dengan samar-samar, tapi ia tahu, bahwa ibunya pun juga sangat menyayanginya.

Air matanya hampir menetes, tapi Maya segera menyekanya. Karena sekarang ada hal yang jauh lebih penting, yaitu mengalahkan Ajag dan menyelamatkan dua orang anak perempuan yang di sandera olehnya.

***

Beberapa jam sudah berlalu, Praja dari tadi hanya tiduran sambil berharap bisa terlelap untuk beberapa saat, namun ia tak mampu melakukannya.

Ia terus memikirkan nasib dua orang anak yang saat ini disandera oleh Ajag. Biar bagaimanapun adalah tugasnya untuk menyelamatkan mereka sebelum matahari terbit.

Tapi sudah cukup lama ia berbaring, sekarang sudah pukul 4 pagi, sudah tidak ada waktu lagi untuk beristirahat.

Meskipun tubuh astralnya kini masih belum pulih, tapi ia kembali Meragasukma dan berniat pergi ke sana sendirian.

Perlahan ia melayang menembus pintu kamar, hingga saat di luar, wajahnya berpapasan dengan Maya yang ternyata berdiri di depan pintu kamarnya.

"Eh, Maya?" Praja terkejut karena Maya tiba-tiba muncul di hadapannya.

Gadis itu langsung melangkah mundur, ia sendiri merasa kaget sekaligus malu karena tadi posisinya sangat dekat dengan Praja.

"Ah maaf, aku tadi ingin mengetuk pintu kamarmu, tapi secara bersamaan kamu malah keluar dengan menembus pintu," ucap Maya.

"Tidak apa-apa kok, aku juga minta maaf karena mengagetkanmu. Tapi kenapa kamu ingin mengetuk pintu kamarku dalam wujud astral begitu?" Tanya Praja sembari memperhatikan tubuh Maya yang tembus pandang karena sedang dalam wujud roh.

"Begini, aku merasa khawatir dengan anak-anak itu, jadi aku rasa sekarang lah saatnya bagi kita untuk pergi ke sana. Bahkan Nayla pun juga ikut khawatir, dia sendiri akan berjaga di sini mengawasi Pak Irvan dan Bu Laksmi," balas Maya.

"Tapi di sana berbahaya, sebaiknya kamu tetap di sini biar aman!" Pinta Praja.

"Tidak, aku akan tetap ikut ke sana, biar bagaimanapun aku ini seorang Indriya kan? Jadi sudah sepantasnya bagiku untuk belajar soal kekuatan gaib dari kalian! Dan kejadian ini akan ku jadikan pengalaman, agar aku bisa lebih hebat di masa mendatang!" Tegas Maya.

Praja terkesiap mendengar perkataan Maya barusan, "sepertinya gadis ini lebih berani daripada yang kubayangkan!" Batinnya.

"Hey, apa yang kalian bicarakan? Sudah waktunya bagi kita untuk pergi!" Tukas Bima yang ternyata sedang berdiri di dekat mereka, siap untuk kembali melawan Ajag.

Begitu juga dengan pak Toni dan bu Marni, sepertinya mereka juga siap untuk ikut pergi menyelamatkan putri mereka dari tangan Ajag.

Praja pun hanya menghela napas melihat perilaku kedua temannya itu, "Yasudah, ayo kita pergi ke sana sekarang dan kalahkan Ajag!" Tegasnya.

***

Beberapa saat kemudian, di lokasi keberadaan Ajag.

Siluman Anjing itu hanya duduk diam di halaman depan, menunggu kedatangan Praja dan yang lainnya. Saat ini ia merasuki tubuh Nina, sementara di tangannya memegang erat boneka tempat tubuh aslinya disegel.

Sementara arwah Nisa ia biarkan tergeletak di dekat pintu depan untuk dijadikan Sandera. Sepertinya gadis itu masih tak sadarkan diri akibat serangan Ajag tadi malam.

Dari tadi ia terus menggerutu dan menggeram dikarenakan rasa bosan menunggu kedatangan Praja. Hingga di satu titik sorot matanya membesar melihat kedatangan beberapa orang yang sedari tadi ia tunggu.

"Akhirnya kalian datang juga, hampir saja kuhabisi mereka berdua karena kebosanan yang sekarang kurasakan. Nah jadi bagaimana? Kalian mau menghancurkan boneka ini kan?" Tanya Ajag sembari menyodorkan boneka yang ia pegang.

"Kami akan menghancurkan boneka itu, tapi syaratnya adalah kamu harus menyerahkan anak-anak itu pada kami!" Pinta Praja.

"Iya, aku berjanji!" Jawab Ajag sembari menyeringai.

"Sekarang lempar boneka itu kepadaku, biar kuhancurkan sekarang!" Perintah Praja.

Ajag lalu melempar boneka yang sedari tadi ia pegang itu pada Praja. Pemuda itu pun segera menangkapnya dan memegangnya dengan kedua tangannya.

Perlahan tubuh astralnya pun dialiri oleh aura biru, sementara kalung harimau putih yang ia kenakan juga memancarkan aura yang sama. Terlebih pada mata harimau di kalung itu juga menyala mengeluarkan cahaya biru.

Ia pun mengaliri energinya pada boneka di tangannya. Perlahan, boneka porselen itu mulai retak dan mengeluarkan aura yang gelap, sebelum akhirnya hancur terbakar.

Kemudian, Maya melihat tubuh Nina yang mulai sempoyongan. Ia dengan refleks berlari ke arahnya dan menangkap tubuhnya yang mulai roboh.

Begitu juga dengan dua orang arwah penunggu rumah itu, mereka segera melesat menghampiri roh putrinya yang terbaring tidak jauh dari situ.

Sementara dari api yang membakar boneka itu, muncullah sekumpulan asap hitam yang keluar dari sana. Asap hitam itu pun berkumpul di satu tempat, membentuk tubuh seekor Anjing humanoid yang berdiri dengan dua kaki.

Asap itu pun perlahan mulai memadat, hingga terbentuklah wujud asli dari siluman anjing berbentuk humanoid layaknya Werewolf.

Anjing itu berwarna hitam, berdiri dengan dua kaki. Tubuhnya berukuran besar, kemungkinan sekitar 2,5 meter besarnya.

Semua orang di sana terbelalak melihat sosok siluman anjing itu. Siluman yang mampu memberikan tekanan energi yang cukup kuat, hingga mampu menjatuhkan burung-burung yang berterbangan di sekitar tempat itu.

"Kamu adalah..." Praja tak sempat menyelesaikan kata-katanya.

"Ajag, akulah siluman anjing terkuat di tanah Jawa!"

IndagisTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang