Amit-amit!

940 130 10
                                    

Demi melancarkan rencananya, Klarisa mengusulkan semua pengacara Hilman berkumpul di satu tempat supaya aman.

Kantor sudah di segel, pemeriksaan berlangsung dan Hilman dipanggil pihak berwajib yang berkepentingan memeriksa.

"Karena rekening kantor dan Pak Hilman dibekukan sementara, mau nggak mau kita patungan buat tinggal di tempat itu. Apa kalian keberatan?"

Semua saling melempar pandangan.

"Buat makan aja, kalau sewa tempatnya nggak perlu."

"Lo kenal pemiliknya, Kla?"

"Kenal banget. Gue jamin kita aman di sana. Nggak enak juga numpang tapi nggak bantu biaya makan, kan?" sambung Klarisa lagi.

"Oke. Gue setuju. Gue sumbang dua juta." Pengacara senior memulai.

"Gue sejuta nggak apa-apa, Kla? Harus kirim duit ke ortu, cicilan mobil juga gede banget, sorry, ya."
Teman lain mulai bersuara. Akhirnya ada yang patungan lima ratus ribu, tujuh ratus, hingga terkumpul lima belas juta.

Klarisa tersenyum. Uang masuk ke rekening miliknya yang lain lantas segera menghubungi Fauzan dan Pipit.

Mereka akan tinggal di rumah peninggalan orang tua Fauzan, sudah lama kosong karena tak ada yang menyewa.

Klarisa mengarahkan semua temannya kembali kumpul di rumah itu sore hari dengan membawa koper perlengkapan masing-masing. Tim yang kuat akan mempercepat satu masalah terkuak.

Ia pulang setelah pertemuan itu di kafe white house tempatnya biasa berpikir seorang diri.

Ijal dan Audrina menyambut kepulangan Klarisa dengan wajah penasaran mendengar rencana putrinya.

"Kla, ini. Ayah udah cek kantor berita itu pailit lama lalu ini ...." Ijal menyerahkan map lain. "Perusahaan sawit itu, merugikan warga sekitar. Janji mau bayar uang pengganti lahan tapi sampai sekarang nihil. Udah tiga tahun ini janji doang. Di sini Ayah udah cek kalau pembebasan lahan yang disengketakan milik perorangan, warisan satu keluarga yang ditipu pemilik perusahaan sawit itu. Masalahnya--"

"Apa masalahnya, Yah?" Klarisa mendongak karena Ijal berdiri di sisinya, di tepi meja makan.

"Bekingnya mereka kuat. Penguasaha lama juga. Kalau kamu bisa sepakat satu hal ke bekingan itu, kamu bisa menang tanpa terendus kamu kerja sama sama pengusaha kelas kakap itu."

Klarisa mulai bimbang, ia harus telurusi baik-baik. Memelajari pribadi pengusaha itu juga secara struktural.

"Kamu bisa minta bantuan Om Abdi, karena pengusaha ini kenal dekat Abdi dan ya ... segan sama keluarga Abdinegara."

"Nggak, Yah! Sama aja Klarisa serahin diri ke kandang buaya!" tolak Klarisa tegas.

"Siapa yang buaya? Abdi setia sama Bellona?" Kening Ijal mengernyit.

"Haduhhh, Kakek ... kakek ...," sela Audrina. Ijal melotot ke arah istrinya. "Maksudnya buaya itu ya si Darka, sayangkuuu," gemas Audrina.

"Oh," kekeh Ijal. "Emang Darka udah pulang ke kandang? Kayak berani aja?" sinis Ijal seraya bersedekap.

Klarisa juga tak tau. Sudah berbulan-bulan ia tak tau kabar Darka. Masa bodoh juga. Semakin menjauh sampai tak tau kabarnya akan lebih baik.

"Yah, Bu, titip Cendana, ya. Klarisa harus tinggal di rumah lain, sama pengacara Pak Hilman juga. Kalau sampai Klarisa dan teman-teman cepat dapat jalan keluar. Pak Hilman nggak perlu pakai jaket orange. Dia nggak bersalah." Klarisa memohon, Ijal dan Audria mengangguk kompak. Cendana akan aman dengan mereka.

Magnetize ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang