Agen - 42

316 41 9
                                    

Jalanan macet. Padat di segala sisi dengan pedagang kaki lima penuh di tepi.

Selesai hemodialisa, Awi dan Agan bergegas kembali menuju rumah. Duduk di atas sepeda motor dengan punggung tegak sebab situasi antar keduanya masih kaku dan canggung.

Suara deru motor saling bertabrakan. Polusi hinggap tak karuan. Rumah masih jauh untuk mereka sambangi karena padatnya jalanan. Helaan napas dan decakan pelan menguasai Awi dan Agan yang sebenarnya ingin cepat-cepat sampai rumah.

Malas berlama-lama jika berduaan begini.

Tapi agaknya waktu sedang menjebak mereka untuk lebih lama berduaan lagi. Ban motor Dinda yang Agan pinjam tadi bocor parah hingga bagian bawahnya tipis karena tergeprek berat badan manusia yang duduk di jok belakang—Awi.

Agan dan Awi lantas menepikan motornya.

Agan duga, penyebab bocornya ban motor Dinda dikarenakan paku kecil yang tidak sengaja terlindas oleh ban.

Kebingungan dan kekesalan mereka segera terobati oleh sebuah bengkel yang letaknya tidak jauh dari TKP; tersadarnya mereka tentang ban motor Dinda yang sudah menjadi penyet.

Kini, 20 menit hampir berlalu. Ban motor Dinda belum kunjung selesai diperbaiki. Jujur saja, Awi bosan. Sejak dia dan Agan duduk di kursi yang sama, adiknya itu sama sekali tidak peduli dengan keberadaannya. Dia memilih mengobrol dengan tukang bengkelnya seperti teman akrab.

Awi tak diacuhkan.

"Lah terus gimana itu Bang nasibnya? Kasian bener."

"Ya meninggal. Orang kebakar abis!"

Agan meresponsnya dengan ekspresi ngeri, terbayang-bayang tentang cerita Abang bengkel tentang maling daerah sana yang dihakimi warga dengan dibakar hidup-hidup.

"Kita mah tau ya manusia emang tempatnya salah. Tapi kagak usah dihakimin warga sebegitunya lah, kan jadi kasian anak biniknya kagak punya suami ama bapak." oceh Abang bengkel seraya memasangkan ban baru pada sepeda motor Dinda. "Udah paling bener dibawa ke polres, eh malah pada kesetanan matiin orang."

"Ngeri amat." respons Agan seraya melirik sang Kakak yang hanya diam menyimak obrolan dia dan Abang bengkel.

"Gitu dah kalo manusia kagak punya pikiran. Gelap mata. Dikata udah bener kali mereka pada ngelakuin itu."

Agan mengangguk setuju. Gelap mata adalah perbuatan keji yang Agan benci. Pasalnya, dia hampir terbunuh oleh kakak sendiri waktu itu. Gelap mata karena rasa benci yang mengobar seperti bara api. Kejadiannya begitu cepat, namun selalu ia ingat. Sekarang, pelakunya ada di sini, duduk di samping dia.

"Ini ngomong-ngomong, lu berdua darimana?" tanya Abang bengkel.

"Duri, Bang." jawab Agan.

Abang bengkel melebarkan matanya, "lah, lumayan jauh dari sini."

"Iya."

"Abis darimana emangnya?"

Agan menunjuk Awi dengan jempolnya, "nih, abis anter Abang ke siloam." ucap Agan yang membuat Awi tertegun.

Dia embeku selama beberapa saat. Agan masih mau memanggilnya Abang walaupun Awi pernah menorehkan segenap luka untuk adiknya.

Abang bengkel membulatkan mulutnya dan mengangguk. Lalu, beliau melanjutkan kegiatannya memperbaiki motor Dinda.

Agan berdeham dan menegakan punggungnya, membuat Awi terdistrak dari lamunannya dan beralih menatap Agan.

"Apa liat-liat gua?" tanya Agan dengan ketus.

Agen Agan ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang