"Angkasa?"
Adalah dia, si sulung yang dipanggil ibunya dalam gelap gulita. Bulir peluh bermunculan di pelipis sesaat lampu yang belum lama dimatikan kembali dinyalakan.
Tadinya sengaja, mencoba taktik yang dia pelajari dari kebohongan-kebohongan Unje untuk dipraktekkan sendiri. Apalah daya, anak patuh yang baru sekali-kalinya berencana itu hanya bisa membatu dan nyengir nanggung. Garis wajahnya penuh kekhawatiran. Yang terbayang di kepala tinggal kemungkinan pengalihan ini jadi serial panjang yang alur dan durasinya harus dia batasi, atau kalau gagal, kesempatan tidak akan datang dua kali.
"Sering banget kamu ke sini enggak ngabarin," sapa sang ibu dengan mata sayu. Tangan keriputnya menumpu pada dinding selagi melepas mules yang masih bisa membawa wanita paruh baya itu berjalan begitu jauh dari usianya, yang Angkasa harap bisa lebih jauh lagi untuk malam ini saja!
Sayang, Lousiana Rahadi pulang lebih awal.
Tiap kali wanita yang dia panggil Mama itu kembali pagi buta, membawa wangi parfum bibit yang bercampur dengan sisa-sisa asap rokok yang menempel di bajunya, Angkasa sudah tidak pernah tanya kenapa. Sudah tidak pernah lagi memejamkan mata untuk menahan amarah yang membuncah karena malu. Sebagai anak laki-laki tertua, dia sudah hafal, walau juga tidak akan pernah paham.
Meloloskan tawa santai, dia tarik pintu kamar sampai terdengar bunyi klik. "Biar surprise aja," katanya.
"Memang kapan sampainya?"
"Semalam mendarat di Solo. Checkout jam tiga, terus nyempetin ke sini. Sekalian nunggu jemputan."
"Ini, langsung terbang lagi?"
Lelaki itu mengangguk. Bualannya dipercaya.
Girang yang tiba-tiba dirasakan membuatnya sungkan di belasan detik kemudian. Bagaimanapun, jam terbang Angkasa belum tinggi. Dirinya bukan Unje yang kalau urusan mengibuli orangtua sudah gak pakai mikir. Dia, enggak gelagapan juga sudah bagus! Mendapat anggukan, berarti lebih bagus lagi.
"Untung aku pulang," balas Mama membuat satu alisnya naik sedikit. "Cuuuapek! Ngaku-ngaku tok! Enggak lagi-lagi aku sama dia!" dengus wanita itu terduduk frustrasi.
Figur tinggi besar yang tidak mengharapkan kehadiran beliau pun ikut duduk, sungguh cuma ingin mendengarkan sebab apapun itu, sudah tidak ada iming-iming yang mempan untuk membuat Mama berpikir kembali soal mana yang lebih melelahkan; antara menjalani hari-hari puber kedua yang tak berkesudahan dan jelas-jelas merusak mental, atau menghadapi dampak dari keegoisan yang selama ini banyak dilimpahkan ke anak-anaknya. Lagipula, bukan sekali-dua kali opsi kedua ditolak keras, lengkap dengan tantrum dan sumpah-serapah yang tak terbantah.
"Harus hidup gimana lagi biar cepet kaya, ya Gusti ...!"
Angkasa tetap bungkam. Bukan dia marah—wong sudah marah! Sekarang tinggal menahan diri, mumpung hanya tersisa beberapa menit sampai jam empat dua puluh, kecuali jika diantara itu keluar celotehan lain yang membuatnya tak cukup untuk tinggal diam.
"Pagi ini kemana?" tanya Mama membuatnya mengerjap karena belum mempersiapkan bualan ala-ala, tapi ....
"Jakarta." Dia pilih menjawab jujur.
"Oh? Kalau gitu aku titip barang ke Na—"
"Enggak usah, Ma!" cegahnya sebelum beliau bangkit. "Nana bilang, KKN-nya ambil di Jogja. Bulan depan bakal pulang juga," karang si sulung cepat. Jantungnya berdebar hebat mengetahui hal itu tidak akan terjadi.
"Yowis kalau gitu. Mau ngomongin apa?"
"Hm?" Dia sempatkan mendangak.
"Tadi kamu di kamarku, kan?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Extra Baggage
FanfictionTahun depan genap sepuluh tahun ayahnya berpulang. Tak terasa, Angkasa telah tumbuh menjadi siapa saja yang diharapkan dari seorang kakak tertua juga satu-satunya laki-laki dewasa di keluarga. Sekolahnya selesai bersama mimpi masa remaja yang dituka...