🌻 halaman ( 08 ) - Tante Datang

297 44 5
                                    

Galian masih pingsan, udah jam 8 malem tapi putra kedua pandegas itu belum juga bangun.

"Bang Iyan kenapa, Feya?" Hana pandangi sahabatnya berkaca kaca, Feya hanya tersenyum kecil "gapapa, Lo tenang ya. Keadaan Lo masih belum baik, istirahat. Sekarang Lo juga punya bayi"

Ia peluk sahabatnya, Hana mengangguk. Balas pelukan Feya pelan pelan sambil usap perut gembul itu.

"Feya, jangan takut karena liat keadaan gue tadi ya"
Ko
"Hm?" Hana elus pipi sahabatnya, lalu ia kecup "jangan takut, gue aja bisa, anak gue lahir. Lo pasti juga bisa, jangan takut"

"Iya, Jihana"

Gentala yang melihat mereka hanya bisa mengusap surai Feya, karena fokusnya pun sekarang pada dokter yang lebih ahli yang Sena suruh datang ke rumah untuk meriksa galian.

Sekarang pun, putra Hana dan galian sedang digendong Sena karena Hana masih belum terbiasa dan masih lemas, terlebih dengan keadaan galian sekarang.

Garen juga ada disana sambil gendong rara, bareng jeora yang tatap serius dokter yang meriksa galian. Intinya kalau ada yang sakit, mereka bertiga jelas panik banget.

Jangan tanya dimana Andarrel, jelas diluar, diruang tengah bareng putra putrinya juga si bocil Giandra.

"Gimana Ben?" Tanya Sena.

Dokter lelaki itu menoleh "galian pernah ngalamin hal apa? Kayanya adiknya pak Garen menderita ptsd, ada gejala trauma diotaknya yang buat dia cemas sampai hilang kesadaran"

Mereka diam dulu, jeora berucap "trauma, dia pingsan gara gara istrinya lahiran dok"

"Mungkin karena itu? Ya pak Garen? Atau kalian adiknya yang lain tau?"

Garen pandangi gentala, sedangkan gentala menggeleng. Membuat Garen segera alihkan pandangan "baik, dok. Terima kasih"

"Ga mau jelasin galian trauma apa?" Bisik Sena, jeora ditengah mereka jadi bingung sendiri.

"Gapapa" lalu ia pandang Hana, tupai itu paham sesuatu dan ikut mengangguk. Si dokter balik berikan jamuan, menyarankan obat dan beberapa yang harus dilakukan agar sembuh dari traumanya, barulah segera itu beranjak diantar Sena dan jeora kedepan. Jeora nih penasaran, makanya ngikut Sena.

Perginya jeora barulah mereka menghela nafas. Garen pandangi galian dulu, mengusap surai itu begitu juga gentala yang mendengus malas.

"Udah lewat 20 tahun juga, bang Iyan masih takut. Padahal kan itu takdir" ucapan itu membuat Hana dan Feya menoleh.

"Maksud lo, gentala?" Tanya Hana. Garen menghela nafas, ia dekati istri galian dan duduk ditepi ranjang.

"Baik, na? Pegang Rara dulu dek" gentala mengambilnya, ia gendong keponakannya itu. Sedangkan Feya ikut mendekat karena ingin mendengar cerita Garen.

"Hana baik bang, terlebih baik. Tapi bang Iyan—" lirik suaminya, Hana usap surai itu. Garen tersenyum "galian baik kok, dia pasti baik. Dia ga bakal tinggalin orang yang dia sayang"

"Hm?" Hana mengangguk "sebenarnya bang Iyan kenapa? Apa yang buat dia trauma?"

"Lahiran, dia trauma sama lahiran. Apalagi orang yang dia sayang"

"Sebabnya, bang?" Tanya Feya. Garen menceritakan perihal dahulu sesekali dikomentari gentala. Barulah mereka mengerti setelah itu.

"Abang ga mau genaya tau, dia bakalan sedih banget sama keadaan galian, dan bakal salahin dirinya sendiri. Kalian jadi tau kan kenapa galian sesayang itu sama genaya? Bunda nya genaya benar benar yang buat galian hidup, yang buat galian merasa diberi kasih sayang sama seorang bunda, cinta" melirik adiknya miris, ia kembali melihat Hana, usap surai itu "na, beri dia cinta ya. Dia berusaha nutupin semuanya, dia mandiri, sendiri. Dia orang yang terlarut nyimpan luka, dia hidup karena kasih sayang, dek. Gak logis, tapi galian memang selemah itu"

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Sep 01 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

( im'pandegas )Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang